Budaya Bali

TikTok & Instagram: Jejak Industri Budaya di Era Digital

Opini

Annubala ID – Perkembangan TikTok dan Instagram sebagai platform media sosial dominan menawarkan studi kasus yang menarik dalam konteksi teori industri budaya. Teori industri budaya, yang dikembangkan oleh Theodor Adorno dan Max Horkheimer, menyoroti bagaimana industri budaya—seperti musik, film, televisi, dan lainnya—memproduksi dan mendistribusikan komoditas budaya secara massal.

Ia menciptakan keseragaman dan menekan kreativitas otentik demi keuntungan ekonomi. Analisis ini akan mengeksplorasi bagaimana TikTok dan Instagram, sebagai industri budaya kontemporer, menampilkan karakteristik kunci teori tersebut.

Standardisasi dan Homogenisasi Konten

Salah satu poin utama dalam teori industri budaya adalah standarisasi dan homogenisasi produk budaya. TikTok dan Instagram mendorong standardisasi melalui algoritmanya yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan (engagement). Tren viral, tantangan (challenges), filter, dan format video pendek menjadi norma.

Baca juga: [Resensi] Sains “Religius” Agama “Saintifik” karya Duo Pemikir Hebat

Pengguna didorong untuk menyesuaikan diri dengan format ini agar konten mereka lebih mudah ditemukan dan populer. Hal ini mengarah pada homogenisasi konten, di mana orisinalitas seringkali dikorbankan demi mengikuti tren dan algoritma. Kreativitas yang tidak sesuai dengan ‘formula’ yang berhasil cenderung kurang mendapatkan perhatian.

Produksi Massal dan Komodifikasi Budaya

TikTok dan Instagram adalah mesin produksi konten massal. Jutaan video dan foto diunggah setiap hari, menciptakan banjir informasi yang terus-menerus. Konten ini seringkali dikomodifikasi melalui iklan, kemitraan merek, dan penjualan produk.

Kemudian user, terutama influencer, berusaha mengubah hobi dan passion mereka menjadi sumber pendapatan. Proses ini menunjukkan bagaimana industri budaya memanfaatkan budaya populer dan pengalaman pribadi untuk menciptakan komoditas yang dapat dijual.

Pasifitas Audiens dan Ilusi Pilihan

Teori industri budaya mengeritik peran pasif audiens dalam mengonsumsi produk budaya. TikTok dan Instagram sering dituduh mendorong pasivitas dengan menyajikan konten yang dipersonalisasi secara terus-menerus. Algoritma bekerja untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin, seringkali dengan konten yang sesuai dengan preferensi mereka.

Baca juga: 3 Fakta Menarik Kerajaan Maroko yang Jarang Diketahui

Walaupun pengguna merasa memiliki kendali atas apa yang mereka lihat, pilihan mereka dibatasi oleh algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan. Pada gilirannya menguntungkan platform secara finansial. Ilusi pilihan ini menutupi fakta bahwa kerangka dan struktur platform tersebut sangat membatasi spektrum konten yang benar-benar terpapar kepada pengguna.

Keterbatasan dan Nuansa

Meskipun teori industri budaya memberikan kerangka kerja yang relevan untuk menganalisis TikTok dan Instagram, penting untuk mengakui keterbatasan dan nuansanya. Kritik terhadap standarisasi konten tidak boleh mengabaikan potensi kreativitas dan ekspresi diri yang difasilitasi oleh platform ini.

TikTok, misalnya, telah menjadi platform penting bagi komunitas yang kurang terwakili untuk menyuarakan pendapat mereka dan berbagi pengalaman mereka.

Selain itu, internet dan media sosial menawarkan peluang partisipasi yang lebih besar daripada media tradisional, memungkinkan pengguna untuk berinteraksi dengan konten dan menciptakan konten mereka sendiri, meskipun dalam kerangka yang dikendalikan oleh platform.

Kesimpulan

Perkembangan TikTok dan Instagram menyoroti kompleksitas industri budaya kontemporer. Sementara, platform ini menawarkan peluang kreativitas dan koneksi, mereka juga mencerminkan tren standardisasi, komodifikasi, dan pasivitas yang dikritik oleh teori industri budaya.

Pemahaman mendalam tentang bagaimana platform ini berfungsi dan bagaimana mereka memengaruhi budaya kita sangat penting untuk mengembangkan kesadaran kritis dan menavigasi lanskap media sosial yang terus berkembang. Dengan demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi implikasi jangka panjang dari platform ini terhadap kreativitas, ekspresi diri, dan pembentukan identitas dalam masyarakat modern.

Sumber:

  • Appadurai, A. (1996). Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization. University of Minnesota Press.
  • Robertson, R. (1992). Globalization: Social Theory and Global Culture. Sage Publications.
  • Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression: How search engines reinforce racism. New York University Press.

Penulis: Shakila Jingga Zahra (Penulis aktif Annubala ID, mahasiswa S1 Jurnalistik, memiliki minat pada kajian Islam, Sejarah, Karya Sastra Eksentrik, Puisi, dan Komik)

Baca juga: Rahasia Komunikasi Al-Qur’an: Menyelami Ilmu Fawatih Suwar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *