Takjil Gratis di Jalanan: Tradisi Mulia atau Cuma Fomo?

Opini

Annubala ID – Bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat didambakan oleh kaum muslimin. Di samping Allah memberikan pahala dengan begitu melimpahnya, puasa wajib ini selalu diwarnai dengan fenomena masyarakat yang cukup menarik bagi para shaim (orang yang berpuasa).

Adalah bagi-bagi takjil, kiranya fenomena ini sudah sangat akrab di kalangan masyarakat Indonesia. Berbicara takjil sudah barang tentu orang-orang paham istilah tren (pengalaman baru) ini digunakan.

Saat memasuki bulan Ramadhan, sebagian besar orang-orang berkompetisi untuk saling memberi makanan berbuka kepada shaim.

Tempat peribadatan atau sudut jalan tertentu menjadi ramai dan padat dikala menjelang Maghrib. Sejumlah warga setempat atau relawan saling berduyun-duyun menyiapkan makanan untuk para shaim dan hampir setiap masjid diisi dengan kajian religi dalam rangka mengantar jamaah sampai pada waktu takjil tiba.

Namun tidak sedikit orang-orang hanya fomo terhadap tren berbagi takjil ini. Alih-alih agar menyenangkan orang-orang yang berpuasa terlebih sekedar konten, banyak yang belum mengetahui secara pasti substansi dari bagi-bagi takjil tersebut.

Mengetahui Makna Takjil Puasa

Puasa dalam perspektif ulama fiqih adalah menahan (al-imsak) dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Puasa yang dimaksud di sini adalah puasa bulan Ramadhan, dimana hukumnya wajib bagi setiap muslim.

Sebagaimana surat Al-Baqarah ayat 183, “telah diwajibkan kepada kalian berpuasa” (Al-Bujairami, j. 2, h. 64).

Sementara, kata takjil berasal dari akar bahasa Arab yaitu عَجَّلَ يُعَجِّلُ تَعْجِيْلًا yang memiliki arti segera, buru-buru, atau cepat-cepat. Kerap kali, orang-orang mengangap takjil adalah makanan untuk berbuka puasa.

Padahal dalam konteks berpuasa, takjil diartikan sebagai bentuk ungkapan bagi orang yang berpuasa untuk bersegera atau mempercepat berbuka puasa atau membatalkannya.

Dalam Al-Qur’an banyak sekali ungkapan dengan menggunakan kata yang serupa. Seperti kata العِجْلَ di surat Al-Baqarah ayat 51, 54, atau 92 yang memiliki arti anak sapi.

Baca juga: Mengungkap Karya Mama Sempur: “Idhahul-Karathaniyyah” dan Kritik Tajam terhadap Wahabi

Setelah Nabi Musa diutus menyampaikan risalahnya, kaumnya berbuat dzalim dengan memilih patung anak sapi (al-‘Ijl) sebagai sesembahan mereka.

Juga di surat Al-Baqarah ayat 203 yang berbunyi, فَمَنْ تَعَجَّلَ فِيْ يَوْمَيْنِ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۚ وَمَنْ تَاَخَّرَ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۚ (barangsiapa mempercepat (meninggalkan Mina) setelah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa mengakhirkannya tidak ada dosa (pula) baginya).

Kata ta’ajjala di sini memiliki makna mempercepat atau bersegera, berlawanan dengan ta’akhara yang maknanya mengakhirkan. Jadi seorang yang haji boleh meninggalkan penginapan Mina lebih cepat dari dua hari tasyriq (11,12,13) ataupun mengakhirkannya, hal itu hukumnya tidak berdosa. (Lihat Tafsir al-Razi, j. 5, h. 340)

Dari sini dapat dipahami bahwa takjil adalah bersegera untuk berbuka puasa saat terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan hadis Nabi dalam kitab Shahih Bukhari no. 1957:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

Artinya: “Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama ia menyegerakan berbuka puasa”

Banyak pula riwayat hadis yang menyatakan bahwa orang yang mengakhirkan puasa disamakan seperti puasanya orang Nashrani dan Yahudi (lihat hadis Riwayat Abu Dawud no. 2353).

Alhasil, menyegerakan berbuka puasa merupakan anjuran dari Nabi Muhammad Saw. (sunah).

Tren Fomo Berbagi Takjil

Dalam kamus Cambridge, fomo atau “fear of missing out” memiliki arti perasaan khawatir bahwa seseorang mungkin akan melewatkan kegiatan menarik yang dihadiri orang lain, terutama yang disebabkan oleh hal-hal yang terlihat di media sosial.

Terlebih zaman sekarang setiap momentum selalu diabadikan dalam media sosial. Oleh karenanya, berbagi takjil menjadi tren masyarakat saat memasuki bulan Ramadhan.

Pada dasarnya, fomo dalam hal kebaikan tidaklah buruk, karena berkompetisi dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam. Fastabiqul khairat, “berlomba-lombalah dalam kebaikan” begitulah Al-Qur’an menyebutkannya.

Namun, fomo bisa saja menjadi buruk apabila tren tersebut memberikan dampak negatif. Di antaranya seperti fomo hidup hedonis, konsumtif, flexing pencapaian di media sosial.

Menyikapi tren berbagi takjil, kiranya fenomena ini memberikan dampak positif bagi masyarakat, karena dalam kegiatannya tidak hanya orang-orang yang berpuasa yang mendapat jamuan makanan. Terkadang orang-orang yang memang tidak mampu membeli makanan ikut mendapatkan keberkahan dari kegiatan tersebut.

Aksi berbagi takjil menuai banyak respon positif di kalangan masyarakat, baik kalangan muslim ataupun non-muslim. Sehingga banyak juga masyarakat dari kalangan non-muslim yang turut andil dalam aksi bagi-bagi takjil. Begitupun sebaliknya, terkadang non muslim yang ikut serta dalam menerima makanan takjil puasa.

Keutamaan Berbagi Takjil

Konsep menjalin hubungan sosial yang harmonis, seperti bersedekah, banyak disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis. Al-Qur’an yang menyebutkan anjuran untuk bersedekah terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 114:

لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍ ۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

Artinya: “Tidak ada kebaikan pada banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali (pada pembicaraan rahasia) orang yang menyuruh bersedekah, (berbuat) kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Siapa yang berbuat demikian karena mencari rida Allah kelak Kami anugerahkan kepadanya pahala yang sangat besar.”

Sedangkan hadis Nabi Muhammad Saw. yang membicarakan bersedekah kepada orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala sebagaimana pahalanya orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala shaim.

Beberapa riwayat hadis di antaranya terdapat dalam riwayat Ibnu Majah no. 1746, Ibnu Hanbal no. 17033, atau Al-Tirmidzi no. 807. Berikut redaksi hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah no. 1746:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِمْ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

Artinya: “orang yang memberikan makan kepada orang yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala seperti pahala puasa mereka, tanpa mengurangi sedikit pun dari pahalanya.”

Jadi dapat disimpulkan berbagi takjil merupakan kegiatan yang positif di kalangan masyarakat, di samping orang yang menyiapkan takjil akan mendapatkan pahala puasa, aksi ini akan menjalin keharmonisan masyarakat, lebih lanjut akan melahirkan kerukunan antar umat beragama.

Dengan catatan, kegiatan ini dikemas dan dilakukan dengan cara yang baik. Sehingga diharapkan tren berbagi takjil ini mampu meningkatkan kesalehan agama dan sosial. Wallahu’a’lam.

Baca juga: Rahasia Wudhu: Ringan Diamalkan, Dahsyat Keutamaannya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *