Tafsir Surat Al-Fath Ayat 29: Menyoal Nabi Bersikap Keras Kepada Non-Islam

Kajian

Annubala ID – Pemahaman dalam membaca Al-Qur’an tidak cukup dengan menilik pada kata perkata pada terjemahnya. Sebab lafal Al-Qur’an kerap sekali tidak bisa dipahami secara tekstual. Tujuan tulisan ingin memberikan gambaran penafsiran Surat Al-Fath ayat 23. Penafsiran Al-Qur’an perlu dipandang dari berbagai aspek supaya tidak terjadi misunderstand penafsiran.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pemahaman demikian, salah satunya adalah doktrinisasi ayat-ayat Al-Qur’an terkait konsep jihadis yang disalahpahami makna kandungannya. Sebagaimana yang dijelaskan Fazlur Rahman, bahwa adanya kesalahpahaman dalam Al-Qur’an disebabkan sumber Islam tersebut masih mengandung pemahaman hukum yang bersifat umum (universal). Sehingga banyak orang yang salah menafsirkan dalam memahamai isi kandungannya.

Baca juga: Ulama Melek Politik: Kiprah KH. Atabik Ali dalam Dunia Pendidikan dan Kebangsaan

Salah satu ayat Al-Qur’an yang penulis sajikan adalah surat Al-Fath ayat 29, yang berbunyi:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِرُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

Artinya : “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan beliau bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”.

Kerap kali pembacaan ayat di atas dipahami sebagai sikap Rasulullah yang bersikap keras kepada non-Islam. Alhasil mereka terjebak dalam pemahaman yang dangkal dan cenderung bersifat ekslusif terhadap orang yang selain penganutnya. Impilkasinya mereka memahami Nabi Muhammad Saw. adalah orang yang berani dan keras dalam memerangi orang kafir.

Tentunya, kita semua ambil sikap antitesis atas pernyataan tersebut. Apakah pemahaman Nabi dan para Sahabat bersikap keras kepada non-Islam diartikan sebagai perlawanan perang (red: jihad) yang selalu digaungkan? Bagaimana sebenarnya pemahaman kontekstual dalam surat Al-Fath ayat 29 tersebut?

Penafsiran Surat Al-Fath Ayat 29

Ayat 29 ini menjelaskan setelah Allah membenarkan mimpi Rasulullah dan orang-orang mukmin menjadi tenang. Lalu Allah menjelaskan tentang kebenaran Rasulullah dan memuji orang-orang yang bersamanya. Makna مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ menjadi bukti penegasan Allah kepada Nabi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, meskipun orang-orang kafir tidak mengakuinya. Oleh karenanya, Allah sebutkan pada ayat sebelumnya berbunyi وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا (dan cukuplah Allah sebagai saksi).

Sebagian besar mufassir menjelaskan makna وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِرُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ adalah Nabi dan para Sahabatnya bersikap keras dalam memerangi orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut sesama muslim.

Ada beberapa pendapat terkait makna الَّذِيْنَ مَعَهُ ada yang mengatakan para Sahabat Nabi, versi lain mereka yang melakukan bai’at (janji setia) pada waktu Hudaibiyyah. Namun jumhur menafsirkan seluruh Sahabat Nabi. Lafal رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ dhamir hum kembali kepada الَّذِيْنَ yakni orang-orang mukmin atau Sahabat.

Ibnu Katsir dalam kitabnya menerangkan bahwa pada ayat ini Allah tengah menyanjung sikap para Sahabat. Beliau menjelaskan sikap orang mukmin salah satunya adalah keras dan tegas kepada orang-orang kafir, marah dan bermuka masam dihadapan orang kafir, ramah dan senyum dihadapan orang mukmin.
(Ibnu Katsir, juz 7, hal. 337)

Baca juga: Inilah Rumus Agar Mudah Menghafal Surat Al-Rahman

Al-Baidhawi mengomentari makna ayat tersebut, yaitu orang-orang mukmin yang bersikap keras kepada mereka yang menyimpang agamanya. Serta mereka saling mengasihi sesama orang mukmin (Al-Baidhawi, juz 5, hal. 132). Beberapa mufassir lainnya, seperti Al-Razi, Al-Mawardi, Al-Baghawi, pun hampir semuanya mengomentari dengan penafsiran yang senada.

Dari sini kita pahami bahwa para mufassir era klasik-pertengahan sebagian besar mengomentari demikian, padahal yang masyhur kita kenal bahwa Nabi Muhammad Saw. mengajarkan kepada umat Islam untuk saling mengasihani satu sama lain, baik itu orang mukmin ataupun orang kafir. Namun seolah-olah dalam pemahaman ayat ini semuanya terkesan berlawanan.

Tentu saja, dalam memahami Al-Qur’an, seseorang tidak bisa menafsirkan hanya pada satu ayat saja. Ia perlu melibatkan korelasi ayat-ayat Al-Qur’an lainnya, hadis, ataupun pendapat ulama. Di samping itu pula, seseorang perlu meninjau penafsiran kontekstualnya. Bisa jadi maksud ayat tersebut hadir untuk menjawab persoalan pada saat itu, sehingga akan sulit dipahami bila dihadapkan dengan dewasa ini.

Beberapa mufassir kontemporer melakukan penafsiran yang cukup refresentatif dalam menjawab persoalan ini. Sebut saja Ibnu Asyur (w. 1393 H), beliau berkomentar:

Baca juga: Literasi Media dan Deradikalisasi Agama: Sebagai Solusi Melawan Isu Radikalisme

“Sikap keras yang dimaksud adalah keras dalam melakukan peperangan dan menampakkan permusuhan kepada non-Islam. Ini merupakan sikap terpuji sebab Nabi dan para Sahabat adalah pembawa kebenaran dan penyebar panji Islam. Mereka lakukan atas dasar representasi dari murka Allah kepada orang-orang kafir. Cinta dan marah karena Allah adalah sebagian dari iman. Maka bukan sebuah kejahatan, mereka lebih keras daripada non-Islam, sebab antara kedua hati belah pihak sangat berlawanan”
(al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 26, hal. 204)

Mengutip pendapatnya Al-Thanthawi (w. 1431 H) mufti besar Al-Azhar dalam tafsirnya. Beliau mengatakan bahwa Sahabat bersikap keras dan bersikap lemah lembut sesama mereka merupakan sikap yang sangat terpuji. Kedua sikap ini terkumpul sebagai dasar kehati-hatian (waspada). Oleh karenanya sikap keras tersebut tidak bersifat mutlak, begitu pula sikap lemah lembut. Akan tetapi, sikap keras kepada musuh dan sikap lemah lembut kepada mukmin itu dalam ranah akidah.
(al-Tafsir al-Wasith, juz 13, hal. 287)

Maksud sikap lemah lembut sesama mereka adalah menunjukkan keteguhan persaudaraan seiman dalam hatinya. Sikap keras dan lemah lembut meskipun keduanya berlawanan justru hal ini menggambarkan kebijaksanaan berpikir dan kemurnian berpendapat. Artinya kedua sikap ini tetap harus dipegang teguh oleh orang mukmin dalam ranah akidah. Terlebih dalam ranah sosial, orang mukmin ditekankan bersikap lemah lembut kepada semua orang agar terjalin hubungan sosial yang harmonis.

Alhasil sikap yang perlu kita teladani dari Nabi Muhammad Saw. dan para Sahabatnya adalah bersikap tegas atau keras dalam memegang akidah, dengan tidak mengusik akidah orang-orang selain penganut Islam, menaruh sikap toleran dalam bersosial dengan mereka dan membangun sikap lemah lembut sesama manusia, baik muslim atau non-muslim.

Dengan pembacaan (red: penafsiran) surat Al-Fath ayat 29 di atas, maka benarlah sudah Nabi Muhammad Saw. sebagai sosok yang bersifat lemah lembut, berakhlak mulia sesama manusia, dan bersikap tegas/keras dalam memegang kalimat Allah, dan benarlah pula prinsip hadirnya Al-Qur’an di muka bumi ini sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. wallahu a’lam

Baca juga: Keteladanan I Gusti Ngurah Rai: Menanamkan Jiwa Kepemimpinan di Kalangan Santri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *