Sisa Darah di Daging: Najis, Haram, atau Tetap Halal?

Kajian Opini

Annubala ID – Sering kita alami ditengah-tengah makan daging seperti daging ayam maupun daging-daging yang halal lainya masih terdapat sisa darah mungkin salah satu penyebabnya kurang bersih ketika mencuci dagingnya.

Secara hukum darah merupakan najis dan memakannya dihukum haram seperti dideh (darah yang dibekukan). Lantas bagaimana prespektif fiqh terkait sisa darah yang terdapat pada daging yang telah dimasak.

Kejadian tersebut pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. sebagaimana hadits yang diriwayatkan ummul mukminin Sayyidah Aisyah ra.:

وقد روت عائشة – رضى الله عنها – قالت: كنا نطبخ البرمة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم تعلوها الصفرة من الدم فنأكل ولا ننكره

Pada waktu itu Aisyah r.a memasak (sejenis daging) menggunakan البّرمَة (kuali yang terbuat dari batu). Setelah proses memasak sudah selesai (matang) ternyata terdapat sisa darah yang tercampur dalam masakan tersebut. Akan tetapi ketika dihidangkan masakan tersebut tetap dimakan dan rasulullah tidak menegur ataupun melarang.

Baca juga: Melanjutkan Jejak Rasm Al-Qur’an: Tafsiran Muhammad Syamlul yang Mendalam (Bagian 2)

Imam al-Qurthubi dalam kitabnya memberi alasan bahwa langkah Rasulullah tersebut ialah untuk menjaga umat dari beban dan masyaqqot.

Didalam kitab حاشية الشبراملسي juga menyinggung permasalahan yang terjadi di hadits tersebut berikut kutipan kitabnya:

قَوْلُهُ: بِلَا تَغَيُّرٍ إلَخْ) وَقَعَ السُّؤَالُ فِي الدَّرْسِ كَمَا يَقَعُ كَثِيرًا أَنَّ ‌اللَّحْمَ يُغْسَلُ مِرَارًا وَلَا تَصْفُو غُسَالَتُهُ ثُمَّ يُطْبَخُ وَيَظْهَرُ فِي مَرَقَتِهِ لَوْنُ الدَّمِ هَلْ يُعْفَى عَنْهُ أَمْ لَا؟ فَأَقُولُ الظَّاهِرُ الْأَوَّلُ لِأَنَّ هَذَا مِمَّا يَشُقُّ الِاحْتِرَازُ عَنْهُ

(Ucapannya: dengan tanpa berubah) Terdapat pertanyaan dalam pelajaran seperti yang terjadi pada umumnya bahwa sesungguhnya daging yang dicuci berkali-kali dan air sisa cuciannya tidak bisa bening. Kemudian ketika dimasak, di kaldunya muncul warna dari darah apakah hal tersebut di ma’fu ataukah tidak? Maka aku jawab dima’fu, karena ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dijaga. (Muhammad bin Abil Abbas, Nihaayatul Muhtaj ila Syarh al-Minhaaj [Daar al-Fikr] Juz 1 halaman 261)

Baca juga: Jejak Rasm Al-Qur’an Utsmani: Kupasan Pemikiran Muhammad Syamlul (Bagian 1)

Muallif Syaikh Ali bin Ali as-Syibromalisi menghukumi ma’fu dengan alasan kondisi tersebut termasuk masyaqqot. Akan tetapi bagaimana dengan problem ketika sisa darah tersebut masih melekat di daging. Di dalam literatur Fiqih Imam Syafii memberikan status hukumnya yaitu ma’fu juga di antaranya ialah.

‌وَالدَّم الباقى على ‌اللَّحْم وعظامه نجس مَعْفُو عَنهُ لِأَنَّهُ من ‌الدَّم المسفوح وَإِن لم يسل لقلته وَلَعَلَّه مُرَاد من عبر بِطَهَارَتِهِ
(محمد بن أبي العباس, غاية البيان ص 31)

وَأَمَّا ‌الدَّمُ الْبَاقِي عَلَى ‌اللَّحْمِ وَعِظَامِهِ مِنْ الْمُذَكَّاةِ فَنَجَسٌ مَعْفُوٌّ عَنْهُ كَمَا قَالَهُ الْحَلِيمِيُّ وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْعَفْوَ لَا يُنَافِي النَّجَاسَةَ فَمُرَادُ مَنْ عَبَّرَ بِطَهَارَتِهِ أَنَّهُ مَعْفُوٌّ
(سليمان بن عمر العاجلي, حاشية الجمل ص 173)

Baca juga: Jejak Syariat Terdahulu: Menemukan Hikmah dan Syukur dalam Sejarah

Secara singkat bahwa darah yang tersisa di daging dan tulang itu dihukumi najis ma’fu (najis yang ditoleransi). Akan tetapi al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarof an-Nawawi menghukumi darah tersebut dengan status suci berikut penjelasannya:

(قَوْلُه حَتَّى ما بَقِيَ على نَحْوِ عَظْمٍ) أي حَتَّى الدَّمِ البَاقِيْ عَلَى نَحْوِ عَظْمٍ فَإِنَّهُ نَجِسٌ وَقِيْلَ إِنَّهُ طَاهِرٌ وَهُوَ قَضِيَّةُ كَلامِ النَّوَوِيِّ فِي المَجْمُوْعِ

(Ucapannya: sehingga sesuatu yang tersisa pada 7 tulang) Maksudnya sehingga darah yang tersisa pada tulang dan sebagainya. Maka hal tersebut najis dan ada yang mengatakan hal tersebut suci. Ini merupakan keputusan hukum perkataan Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’. (Abu Bakar Usman bin Muhammad Syatha, Iaanatun Ath-Thaalibiin [Daar al-Fikr] juz 1 halaman 100)

Dengan demikian hukum memakan daging yang masih terdapat sisa darah diperbolehkan dengan mempertimbangkan hukum darah tersebut ialah ma’fu bahkan imam nawawi menghukumi suci. Ditemukan juga di literatur lain secara spesifik yang menghukumi ma’fu memakan daging yang terdapat sisa darah.

(و) من النجاسة أيضاً: (الدم) -بتخفيف الميم على المشهور- ولو معفواً عنه وإن تحلب من كبد أو طحال، ومنه ما يبقى على اللحم والعظام، لكن يعفى عنه في الأكل وإن اختلط بماء الطبخ وغيره، وكان وارداً على الماء.

(Dan) termasuk dalam najis adalah (darah) meskipun dalam najis yang di ma’fu.Jjika berasal dari hati atau limpa. Dan termasuk sesuatu yang tersisa pada daging dan tulang. Tetapi hal tersebut di ma’fu ketika di makan meskipun bercampur dengan kuah masakan dan selainnya. Dan darah merupakan sesuatu yang datang pada air (Said bin Muhammad al-Hadramy, Syarh al-Muqaddimah al-Hadramy [Daar al-Minhaj] halaman 138)

Dengan demikian, daging yang sudah dibersihkan namun masih tersisa darah di dalamnya masih dihukumi halal untuk dikonsumsi. Wallahu a’lam bi showab.

Baca juga: Melawan Arus Takfiri: Menjaga Keutuhan Pemahaman Islam yang Moderat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *