Nyai Zuhriyyah dan Kiai Mundzir

Nyai Zuhriyyah & Kiai Mundzir: Pasangan Ilmu dan Keteladanan

Kisah Tokoh

Annubala ID – Menceritakan dua tokoh ini–Nyai Zuhriyyah Munawwir dan Kiai Mundzir Mubasyir–bagaikan melihat untaian permata yang tiada bosannya. Nyai Zuhriyyah atau dipanggil dengan Nyai Zahro’, merupakan keturunan dari pasangan Simbah KH. M. Munawwir, pendiri pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak dan Nyai Hj. Khodijah binti Kiai Hasbullah.

Beliau adalah anak terakhir dari 5 bersaudara, yaitu: Juwairiyyah dan Durriyah (keduanya wafat saat masih kecil), Ny. Walidah Munawwir (menikah dengan KH. Nawawi Abdul Aziz, pendiri pondok pesantren An-Nur Ngrukem Bantul), Kiai Ahmad Munawwir (menikah dengan Ny. Hj. Shofiyah Ahmad, pendiri pondok pesantren Al-Munawwir komplek L), dan terakhir Ny. Hj. Zuhriyyah Munawwir.

Nyai Zuhriyyah tumbuh sebagai sosok yang sabar, sederhana, dan cinta terhadap Al-Qur’an. Oleh karenanya, tak heran beliau mampu menghafal Al-Qur’an. Setiap waktunya beliau habiskan hari-harinya dengan membaca dan muraja’ah Al-Qur’an. Barangkali tidak salah istilah khairul jalis (teman duduk terbaik) menurut beliau hanyalah Al-Qur’an.

Sementara itu, KH. M. Mundzir Mubasyir atau sapaan akrabnya Mbah Mundzir, merupakan putra dari KH. M. Imam Bachri, pendiri pondok pesantren Mangun Sari Nganjuk.

Mbah Mundzir juga pendiri pondok pesantren Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari Bandar Kidul, Kediri, Jawa Timur (tahun 1967). Beliau terkenal sebagai sosok yang zuhud dan ahli ibadah, sepanjang malam beliau sibukkan dengan shalat dan dzikir, konon beliau mampu melaksanakan shalat sebanyak seribu rakaat setiap harinya.

Singkat cerita, keduanya akhirnya dipertemukan dalam ikatan yang suci. Kiai kharismatik yang terkenal gemar shalat ini baru melepaskan masa lajangnya di usia 55 tahun, sedangkan Nyai Zuhriyyah yang terkenal ahli qur’an menikah di usia 35 tahun.

Baca juga: Peran Modin bagi Masyarakat Jawa pada Bulan Ramadan

Waktu itu yang bertindak sebagai wali nikah adalah kakak Nyai Zuhriyyah, Kiai Ahmad Munawwir. Adapun yang mengakadkan adalah KH. Ali Maksum, menantu Mbah Munawwir. Pernikahan ini berlangsung di pondok pesantren Al-Munawwir Komplek L, tepatnya pada hari Jum’at akhir bulan Juli 1973.

Menariknya, setelah keduanya sudah satu atap rumah, aktivitas yang biasa mereka jalani tidak ditinggalkan sama sekali. Pada suatu waktu, Mbah Mundzir hendak menunaikan hajat (kebutuhan) dengan istrinya. Mbah Mundzir yang berada di Mushola segera menghentikan shalatnya dan beranjak ke kamar sang istri.

Sesaat di pintu kamar, terlihat Nyai Zuhriyyah tengah asyik melantukan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Karena beliau merasa sungkan dan khawatir mengganggu kesibukan istrinya, akhirnya beliau mengurungkan niatnya dan kembali lagi menuju mushola untuk melanjutkan shalat dan dzikirnya sampai waktu shubuh.

Begitu pula Nyai Zuhriyyah, saat beliau hendak memenuhi hajatnya beliau menyempatkan waktunya pergi menuju muhsola menemui sang suami, tatkala beliau melihat Mbah Mundzir tengah khusyuk shalat, Nyai Zuhriyyah tidak berani mengganggunya.

Akhirnya, beliau pun mengurungkan niatnya dan kembali melanjutkan murajaah Al-Qur’an sampai waktu shubuh. Keesokan harinya, kejadian tersebut terulang lagi dan begitu seterusnya sampai keduanya wafat.

Fakta menarik lagi, bahwa Mbah Mundzir wafat di usia 70 tahun (1919-1989) dan Nyai Zuhriyyah wafat dalam usia yang sama yakni 70 tahun (1939-2009). Jadi saat keduanya menikah selisih usia kedua tokoh ini berjarak 20 tahun, namun wafat dalam usia yang sama.

Kedua insan surgawi ini tidak dianugerahi keturunan, akhirnya Mbah Mundzir memberikan wasiat terkait estafet kepemimpinan pondok pesantren akan diteruskan oleh keponakannya, yakni KH. R. Abdul Hamid Abdul Qodir–waktu itu dikenal dengan sapaan Gus Hamid.

Namun, selepas kakaknya, KH. R. M. Najib Abdul Qodir pengasuh pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak wafat, beliau dipanggil kembali untuk meneruskan kepemimpinan di pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.

Referensi: kitab Al-Ummahat Al-Qowiyyat karya Musa Musthofadan berbagai sumber lainnya.

Baca juga: Rahasia Komunikasi Al-Qur’an: Menyelami Ilmu Fawatih Suwar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *