Nasi dan Kemanusiaan: Lapar Bukan Lelucon Manusia

Opini

Annubala ID – Kemanusiaan tidak dilihat dari aspek manusia sebagai subjek. Lebih dari itu, ia menuntut sikap (treatmen) manusia pada kepekaan terhadap alam. Dalam poin ini adalah sikap empati terhadap sisa makanan. Sebutir nasi dalam kastanya menjadi sumber primer bagi keberlangsungan hidup manusia.

Sebagai makanan pokok Indonesia, nasi menjadi hal yang lumrah dipandang oleh konsumen. Padahal di mata produsen, yakni para petani, nasi memiliki nilai yang tinggi.

Bayangkan jerih payah para petani dalam dunia pertanian, mulai mengelola sawah, menebar benih, merawat, mengaliri air sampai memanennya.

Setelah itu, mereka mengeringkan padi, menggilingnya lalu menjualnya kepada para pengepul atau pemilik modal besar. Semua itu membutuhkan waktu yang cukup panjang. Belum juga melihat hambatan-hambatan yang dilaluinya.

Setelah semua itu, barulah mereka meraup keuntungan yang tidak cukup tinggi dibanding harga jual beras di level konsumen akhir. Ini sudah hal yang lazim bagaimana mata rantai perindustrian beras berjalan di Indonesia. Para petani hanya menghirup aroma keringat sementara para pemilik modal menikmati hasilnya.

Kontribusi Sebutir Nasi

Nasi yang kita makan sehari-hari memiliki kandungan 89% karbohidrat, 9% protein, dan 2% lemak, mengonsumsi nasi secara berlebih dapat meningkatkan kadar gula, sebab karbohidrat nasi terdiri dari unsur gula dan pati. Meskipun demikian, mengonsumsi nasi dengan bijak sangat bermanfaat bagi tubuh.

Di kancah ASIA, Indonesia berada pada urutan ke-4 sebagai produsen beras terbesar. Sementara itu, juga menjadi pengimpor beras terbesar se-ASIA pada urutan ke-3. Terdengar anomali namun faktanya demikian. Padahal rata-rata petani Indonesia memiliki lahan kisaran 0,8 hektar.

Sebagai makanan pokok sehari-hari, harusnya masyarakat peduli dengan keberadaan nasi itu sendiri. Kebanyakan merka hanya mementingkan nafsu perut semata, bila merasa puas ia lupakan dan buang ke tempat sampah.

Baca juga: Isra’ Mi’raj: Bukan Sekadar Perjalanan, tapi Panggilan Jiwa

Bayangkan, sisa nasi yang tidak dihabiskan sebenarnya mampu menghidupkan sejumlah orang yang sehari-harinya menahan perut dari jeritnya lapar. Anggap saja satu butir nasi (beras) yang terbuang bila dihitung dari jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 270 juta. Lalu diasumsikan 1 kg terdapat 50.000 butir, maka nasi yang terbuang bisa mencapai 5 ton hanya dari sisa satu nasi.

Masyarakat rata-rata makan 2-3 kali sehari, maka dalam satu hari sudah terbuang sebanyak 10-15 ton. Sehingga bila kita asumsikan kembali, 100 orang bisa makan dengan cukup kenyang dengan kurang lebih 10 kg, maka 10-15 ton dari sisa sebutir nasi tersebut sudah bisa mencukupi 10.000-15.000 orang dalam sehari.

Sementara rata-rata jumlah penduduk “desa sedang” sebanyak 1.600-2.400 orang, maka dapat disimpulkan satu butir nasi yang terbuang sia-sia mampu menghidupi 6-9 penghuni desa.

Dalam satu hari penduduk Indonesia telah menyelamatkan sejumlah desa yang terdampak kelaparan hanya dengan sebutir nasi saja. Sadar atau tidak sadar, orang yang telah menyisakan sebutir nasi dalam makannya, berarti ia telah menelantarkan ratusan orang yang kelaparan.

Kemanusiaan dalam Sebutir Nasi

Peran kemanusiaan sudah selayaknya menjunjung tinggi harkat martabat manusia. Namun apa daya bila sebuah peperangan tidak diyakini sebagai genosida. Dunia menjadi saksi bisu terhadap kekejaman agresi militer Israel kepada warga Palestina. Sudah separuh tahun ini, warga sipil Palestina menjadi korban dari peperangan.

Sebuah angka kematian yang begitu tinggi mencapai 37.000 warga Palestina telah memukul hati manusia di belahan dunia. Tentu, semua orang mengetahui bahwa perang ini bukan persoalan agama, dunia sudah melek akan perilaku kejam militer Zionis bahwa perang ini tentang kemanusiaan.

Akibat peperangan yang terjadi mulai dari Gaza sampai Rafah, sudah banyak merugikan warga sipil yang tak bersalah. Perempuan dan anak-anak menjadi korban yang paling banyak. Kerugian itu bukan bersifat material saja, melainkan kerugian mental, psikis, kehilangan saudara dan keluarga.

Bagi warga Palestina setempat, peperangan yang terjadi bukan semata membela tanah air, melainkan mereka juga berperang melawan kelaparan, kesehatan, dan keberlangsungan hidup di tengah reruntuhan puing tanpa makan, alas tidur, obat-obatan, dan kebutuhan hidup layaknya manusia normal.

Sementara donasi yang masuk tertumpuk di perbatasan, warga Palestina mencari makanan yang sekiranya layak untuk dimakan, bahkan rerumputan liar menjadi santapan sehari-hari. Sekalipun bantuan masuk, hal itu belum sepenuhnya tersalurkan dengan cukup.

Dibalik semua itu, semangat api mereka tidak pernah padam. Mereka–bahkan seluruh dunia yang melek–semakin lantang menyuarakan keadilan dan mengutuk tindakan perang yang dilakukan militer Israel.

Baca juga: Bangun Hidup Seimbang: Mulai dari Kewajiban, Bukan Tuntutan

Sementara peran kemanusiaan terbungkam di negeri Kan’an itu, sebagai orang yang hanya “mengamati” peperangan di belahan bumi sana, betapa ironisnya dalam hati kita tidak merasakan secercah kemanusiaan terhadap makanan yang terbuang sia-sia tanpa dihabiskan. Setidaknya ia teringat banyak di luar sana orang-orang yang terdampak kelaparan, banyak orang tua yang mencari sesuap nasi demi asupa gizi anak-anaknya.

Tidakkah sulit bagi kita menghabiskan sisa makanan agar tidak terbuang sia-sia? Bukankah kita mampu dan sadar banyak orang-orang yang belum mendapat kenikmatan yang kita dapatkan pada hari itu.

Kita kontemplasi pada sebutir nasi, di dalamnya ada roda kehidupan yang begitu penting. Di sisi lain, kita telah menghargai usaha para petani, usaha orang yang terlibat dalam sebutir nasi tersebut. Dari sebutir nasi kita manusiakan manusia dan alam ini.

*Sumber: diolah dari berbagai sumber

Baca juga: Keutamaan Majelis Ilmu: Manfaat dan Berkahnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *