Annubala ID – Kajian kitab di pelbagai pesantren sudah sejak dulu mewarnai keindahan pada setiap bidang ilmunya. Warisan keilmuan yang masa ke masa dilimpahruahkan kepada generasi idaman menggambarkan begitu pesatnya transmisi keilmuan kala itu.
Sehingga kitab-kitab yang berasal dari luar seperti Timur Tengah, dapat dijumpai dengan mudah di beberapa lembaga pesantren. Tentunya hal tersebut berkat kontribusi jejaring ulama yang selama ini dibangun dengan intens sejak dulu hingga sekarang.
Sebut saja kitab-kitab yang berasal dari luar nusantara yang dikaji di pesantren. Di antaranya kitab Hasyiyah Al-Bajuri syarah dari Kitab Fath al-Qarib dan kitab Jauharah al-Tauhid merupakan dua karya tulis yang disusun oleh Syekh Ibrahim Al-Bajuri, beliau merupakan ulama Mesir.
Kemudian ada pula kitab Fath al-Mu’in, kitab fiqih ini pengarangnya berasal dari Malabar, India Seletan. Lalu ada kitab Sullam al-Taufiq karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawi yang berasal dari Tarim, Hadramaut.
Baca juga: Moderasi Beragama dan Pesantren: Jejak Toleransi Sejak Dulu
Kitab yang disebutkan terakhir menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini. Kitab Sullam al-Taufiq dalam kurikulum pesantren biasanya ditempatkan pada jenjang menengah (mutawasith). Setelah selanjutnya kitab Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Fath al-Wahab, dan seterusnya.
Kitab yang membahas tentang akidah/ushul, ‘ubudiyyah, muamalah, tazkiyah an-nafs, dan ma’ashi (bab tentang bentuk-bentuk maksiat) dikenal oleh sebagian pelajar termasuk kitab yang keras dan tegas.
Sebelum mengulas sedikit isi kandungan dalam kitab ini, penulis hendak mengutarakan potret perjalanan kitab ini yang telah melewati masa ke masa. Kenapa hal ini perlu diuatarakan?
Hemat penulis kebanyakan seorang pelajar di saat mengaji kitab ini di pesantren, mereka tidak mengetahui dinamika apa yang melatarbelakangi kitab ini disusun dan bisa sampai ke tangannya. Bahkan historis perjalanan kitab tersebut seolah dilupakan begitu saja, padahal ia termasuk bagian dari dinamika sejarah yang tidak bisa dilepaskan.
Dari Manuskrip Menuju Digitalisasi
Kiranya kita sudah mengetahui bahwa para ulama terdahulu kebiasaan mereka adalah menulis karya-karya dengan tangan sendiri. Sekilas kita berpikir bagaimana dulu kitab-kitab yang ditulis dapat dipelajari oleh ulama lain dalam radius yang cukup luas, bahkan lintas negara.
Jelasnya hal tersebut bukan menjadi hambatan bagi mereka yang bergumul dalam samudera ilmu. Budaya tulis menulis dan perlawatan masih tinggi sekali, tidak heran banyak sekali salinan-salinan kitab yang ditulis ulang oleh murid-muridnya.
Aktivitas menulis dengan tangan sendiri yang tersimpan dan terawat hingga sekarang itulah yang disebut manuskrip, dimana naskah-naskah masih dalam bentuk tulisan tangan.
Hal serupa terjadi dalam kitab Sullam al-Taufiq karya Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawi (1191-1272 H/1777-1858 M). Sebagaimana yang dituturkan Sibthul Jailani, seorang muhaqqiq kitab (penyelidik kitab), bahwa kitab ini telah mengalami beberapa masa pencetakan dan penulisan naskah.
Kitab Sullam ini telah diterbitkan sebanyak 3 kali dan ditulis ulang sebanyak 5 kali. Penerbit pertama diterbitkan oleh mishriyah qadimah dengan hamisy (catatan pinggir) oleh Imam Nawawi al-Jawi pada tahun 1291 H (sekitar abad ke-19 M).
Penerbit kedua diterbitkan di Indonesia dengan mencantumkan hamisy Imam Nawawi al-Jawi pada tahun 1358 H. Lalu penerbit ketiga diterbitkan oleh penerbit sebelumnya tanpa mencantumkan syarah. Bentuk tulisan (font) dari terbitan satu ke tiga semakin jelas dan rapih lantaran teknologi yang semakin berkembang.
Baca juga: Menanti Cinta Sejati: Antara Takdir dan Ikhtiar
Selanjutnya kitab Sullam ini telah melewati 5 fase penulisan ulang. Naskah pertama ditulis dengan khat umum pada tahun 1243 H (sekitar 1820-an M) oleh Abu Bakar bin Abdullah bin Umar bin Yahya sebanyak 14 halaman, 20 garis per-lembarnya dengan ukuran 17×24 cm. Manuskrip inilah yang ditulis pada saat sosok pengarang masih hidup. Naskah tersebut relatif minim dari kekeliruan.
Naskah kedua ditulis dengan khat umum tanpa keterangan tahun dan penyalinnya, ia memiliki 13 halaman 19 garis per-lembarnya dengan ukuran 15×21 cm. Dan ini terbilang banyak sekali kesalahan.
Kemudian naskah ketiga ditulis dengan khat naskhi tanpa keterangan tahun, ditulis oleh Mubarak bin Muhammad sebanyak 28 halaman, 16 garis dengan ukuran 18-25 cm. Naskah ini pula banyak sekali kesalahan, dan didalamnya terdapat beberapa tambahan.
Naskah keempat ditulis dengan khat naskhi pada tahun 1246 H oleh ‘Aidarus bin Ahmad bin Syihab sebanyak 23 halaman, 15 garis dengan ukuran 17×23 cm. Berkas ini ditulis pada saat pengarang masih hidup, minim dari kesalahan, elegan dan garis yang rapih.
Baca juga: Ternyata Begini Cara Dakwah Wali Songo
Naskah kelima ditulis dengan khat naskhi pada tahun 1280 H oleh ‘Awadh bin Muhammad Baafdhal sebanyak 23 halaman, 14 garis dengan ukuran 13×17 cm. Naskah ini juga termasuk naskah yang sedikit kesalahannya. Serta di dalam naskah tersebut terdapat beberapa tambahan tulisan.
Alhasil Sibthul Jilani melanjutkan perbaikan dan penggemukan dalam kitab Sullam Al-Taufiq, beliau memberikan hasil tahqiq-an kitab Sullam ini secara cuma-cuma dalam bentuk format pdf. Dalam lembar kolofon kitab tersebut dijelaskan bahwa hak cipta tidak dimiliki oleh siapapun. Artinya siapapun orangnya telah diberikan akses legalisasi dalam pengelolaan kitab pdf tersebut. Cetakan kitab pdf ini terhitung pertama kali dibuat pada tahun 2013 M di Beirut yang diprakasai oleh Sibthul Jilani.
Uniknya Sibthul Jilani memberikan sebuah nadzam yang dikhususkan kepada kitab Sullam Al-Taufiq sebanyak 12 bait. Hal ini menggambarkan keseriusan beliau dalam proses pentahqiqan kitab yang dirasa dibutuhkan oleh para pelajar umat muslim. Sebab jasa beliau, kitab ini menjadi kitab yang gemuk dan syarat akan rujukan kitab, tak ayal kitab ini pun menjadi tebal sampai 222 halaman.
Termasuk Kitab yang Galak
Sebagaimana yang telah disinggung diawal tulisan bahwa kitab Sullam ini terkenal kitab yang “galak”. Pasalnya dalam setiap bab pembahasan, Habib Husain menyisipkan keterangan tambahan yang munasabah.
Misalnya, mula-mula beliau menguraikan secara urut ‘aqoid al-iman (kewajiban mukalaf, makna dua syahadat, dan lainnya) lalu beliau membahas secara tegas sebab-sebab keluar Islam (murtad), baik murtad dengan hati, lisan, dan anggota.
Suatu contoh lagi, beliau menguraikan bab shalat, lalu beliau sambung secara tegas kewajiban wulatul-amri (pemerintah/ulama) untuk memerintahkan shalat.
Bahkan hukumnya wajib memerangi orang yang meninggalkan shalat karena malas jika belum sempat bertaubat. Demikian pada pembahasan selanjutnya terdapat kesamaan dalam pola penulisan yang diuraikan Habib Husain.
Perlu diketahui pula bahwa para pelajar yang mengaji kitab Sullam ini, disarankan untuk membaca kitab-kitab lanjutannya. Seperti membaca kitab Is’ad Al-Rafiq syarah dari Sullam Al-Taufiq. Sebab dengan memperluas wawasan keilmuan, seseorang tidak akan terperangkap pada pemikiran yang rigid (kaku).
Padahal khazanah keislaman sangat luas, tidak terpaut pada satu sudut pandang semata. Dengan hal itu, pembacaan fiqih yang selama ini kita pahami, dapat memberikan solutif dari persoalan individual ataupun umat.
Baca juga: Ketika Cetakan Keliru: Menyingkap Kesalahan Harakat dalam Kitab Barzanji
