Annubala ID – Indonesia merupakan negara multikultural yang memiliki banyak sekali keberagaman termasuk dari suku, budaya, bahasa, hingga agamanya.
Dari keberagaman inilah lahir semboyan Negara Indonesia yakni “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki arti berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Arti tersebut ternyata memiliki makna dan tujuan tertentu, yakni meskipun Indonesia terdiri dari banyak keanekaragamannya namun tidak menjadikan Bangsa Indonesia terpecah-belah melainkan sebagai pemersatu dan semangat menjaga kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia.
Namun, akhir-akhir ini banyak sekali fenomena yang menunjukan bahwa karena perbedaan dan ketidaksamaan menimbulkan kasus-kasus yang tidak mencerminkan semboyan tersebut.
Baca juga: Keutamaan Majelis Ilmu: Manfaat dan Berkahnya
Contoh kasus yang hangat menggemparkan tahun ini adalah pengeboman Gereja Katedral di Makassar. Dilansir dari Kompas.com menjelasakan kronologi kejadian, ledakan terjadi pada pukul 10.28 sesaat setelah ibadah misa kedua digelar.
Akibat kejadian itu, dua orang yang diduga sebagai pelaku tewas dan 20 orang yang terdiri dari warga serta jemaat gereja mengalami luka namun berhasil diselamatkan setelah mendapatkan penanganan.
Dari kasus tersebut dikarenakan perbedaan dalam beragama ternyata belum semua warga negara menerapkan makna dari semboyan Bangsa Indonesia, maka dari itu perlu adanya pemahaman dan penerapan sikap moderasi beragama.
Secara bahasa, kata moderasi berasal dari Bahasa Latin Moderatio yang berarti sedang atau tidak lebih dan tidak kurang. Sedangkan secara istilah, moderasi adalah sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrim dan tidak radikal (tatharruf).
Maksud dari pengertian disini berarti moderasi adalah pengambilan sikap kita dalam melakukan sesuatu. Serta memandang perbedaan dengan pandangan yang menerima, tidak menjadikan permasalahan selagi tidak mengganggu dan melihat perbedaan sebagai suatu kebaikan.
Sedangkan beragama secara bahasa berarti menganut (memeluk) suatu agama. Agama yang dipilihnya dan yang diyakini membawa kebaikan.
Menurut istilah, beragama memiliki makna menebar kedamaian, kasih sayang, dimanapun dan kepada siapapun. Dalam beragama, para pemeluknya memiliki kewajiban untuk melakukan peribadatan yang pasti setiap agama memiliki ritualnya masing-masing sesuai dengan yang diajarkan di dalamnya.
Baca juga: Menyelami Pemikiran Tafsir Al-Kabir: Warisan Intelektual Fakhruddin Al-Razi
Jadi moderasi beragama adalah cara pandang dan sikap dalam beragama secara moderat. Artinya dalam mengamalkan ajaran agama dengan cara yang ekstrim seperti bertindak liberal maupun radikal hingga terdapat ujaran kebencian. Semua agama mengajarkan kasih sayang, kebaikan, dan kedamaian.
Dengan moderasi beragama, selama pemeluk agama lain tidak mengusik agama yang kita peluk, maka wajib bagi kita untuk menghormatinya.
Sikap moderat adalah perbuatan yang lebih baik dalam bertindak, yang artinya menerima perbedaan dengan sikap baik tidak dengan kekerasan atau tidak ekstrim kanan atau kiri.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw.
أبو ھریرة – رضي االله عنھ – قال : قال رسول االله – صلى االله علیه وسلم «خَیْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُھَا.« ، جامع الأصول في أحادیث الرسول
Artinya: Abu Hurairah Ra. Berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda: sebaik baik persoalan adalah berada di tengah-tengah (Sikap Moderat).
Moderat dalam al-qur’an dibahasakan dengan “wasathiyah” yang berarti pertengahan dari segala sesuatu. Hal ini, diterangkan dalam surah Al-Baqarah ayat 143
كَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُوْنُواْ شُھَدَاءَ عَلَى النَّاسِ،
Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil (moderat) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.
Baca juga: Ternyata Begini Cara Dakwah Wali Songo
Wasathiyah dalam ayat tersebut terdapat tiga kunci pokok dalam penerapannya yaitu pengetahuan yang benar, emosi yang terkendali dan kewaspadaan atau hati-hati.
Tidak hanya itu, masih banyak lagi ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan bahwa kita juga dianjurkan untuk bersikap moderat seperti dalam QS. Yunus ayat 99-100, QS. al-Baqarah ayat 256, QS. Hud ayat 118 dan masih banyak lagi.
Maka dari itu, perlu adanya dari umat muslim yang menjadikan al-qur’an sebagai pedomanya untuk belajar Islam secara kaffah dan memahami Al-Qur’an dengan berbagai perspektif ilmu. Seperti ilmu alat, tafsir, dan balaghah bukan memahami Al-Qur’an hanya secara tekstual dari arti perkata. Karena, al-qur’an turun dalam kondisi tertentu yang menyesuaikan dengan keadaan tersebut atau yang biasa disebut dengan asbabun nuzul.
Baca juga: Ketika Adzan Magrib Terdengar: Langsung Buka atau Jawab Dulu?
Penerapan moderasi beragama saat ini harus selalu diupayakan mengingat banyak terjadinya kasus yang tidak mencerminkan kedamaian dalam kemajemukan Bangsa Indonesia. Gesekan sosial sering terjadi akibat perbedaan cara pandang masalah perbedaan termasuk keagamaan.
Misalnya di suatu waktu terdapat suatu kelompok yang membenturkan pandangan keagamaannya dengan ritual budaya seperti ritual sedekah laut, kenduren, dan kebudayaan yang lainnya.
Sampai yang paling ekstrem adalah upaya suatu kelompok ingin mengganti ideologi negara yang sudah menjadi kesepakatan bersama yang terbaik dengan mengingat bangsa Indonesia yang multikultur dengan ideologi yang dipahaminya sendiri.
Melihat itu semua, sudah sepatutnya semua sektor dan kalangan bersama-sama untuk terus mengajarkan pemahaman kepada semua elemen masyarakat dalam penerapan moderasi beragama.
Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam semua situasi. Tidak hanya itu moderasi beragama juga merupakan amal kita dalam menjalankan anjuran agama yang selalu mengajarkan kasih sayang dan pertengahan.
Sebab itu, pemerintah mengupayakan untuk memperkokoh kerukunan masyarakat dalam kehidupan umat beragama. Dalam peraturan menteri agama nomor 18 tahun 2020 tentang rencana strategis Kementerian Agama tahun 2020-2024.
Baca juga: Bolehkah Membaca Mushaf Al-Qur’an Saat Salat? Ini Penjelasannya!
Maka dari itu, benar apa yang telah dituliskan oleh Pak Edi, bahwa seyogyanya Agama tak perlu diperlakukan dengan rumit, pelik, dan sensitif. Agama senantiasa kita junjung bersama sebagai agama suci yang merahmati segala ikhtilaf, yang mengayomi semua kita dalam kebersamaan kemajemukan.
Menurut hemat penulis, menjadi moderat bukan berarti berlaku bebas atau bahkan meremehkan ajaran agama. Menjadi moderat bukan berarti lemah dalam keyakinan.
Menjadi moderat, keliru jika kita mengartikan bahwa dalam beragam berarti tidak serius, tidak sungguh-sungguh.
Dengan penjelasan yang telah dijabarkan, semua kesimpulan terdapat pada inti bahwa moderasi dalam beragama adalah sikap seorang pelaku agama dalam mengajarkan nilai agamanya. Sekaligus menjadikan semboyan bangsa sebagai prinsip hidupnya.
Sumber Referensi:
- https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/29/100000165/bom-gereja-katedral-makassar-kronologi-kejadian-keterangan-polisi-dan-sikap?page=all.
- https://paralegal.id/peraturan/peraturan-menteri-agama-nomor-18-tahun-2020/
- al-Jazari, Ibnu Atsir. Jami’al-Ushul fi Ahadith al-Rasul, Maktabah Syamilah.
- Iyubenu, Edi Ah. 2019. Tuhan Itu Maha Santai. Yogyakarta: Diva Press
Penulis : Arrum Nur Febriani
