Annubala ID – Pendidikan Al-Qur’an dalam lingkungan pesantren memiliki peranan penting dalam membentuk karakter dan kepribadian santri sejak usia dini. Pendekatan yang diterapkan tidak sekadar menitikberatkan pada hafalan semata, tetapi juga menanamkan kualitas bacaan yang fasih, tartil, dan pemahaman mendalam terhadap isi Al-Qur’an.
Hal ini menjadi fokus utama yang dikembangkan oleh Ibu Hj. Nyai Maftuhah Minan dari Pondok Pesantren Nurul Qur’an, Kajen, dalam desain kurikulum wasathiyah pendidikan Al-Qur’an yang beliau jalankan.
Metode pembelajaran yang diterapkan oleh Nyai Maftuhah menuntut setiap santri untuk melalui tahsin bin nadzar hingga khatam Al-Qur’an. Disini, perhatian khusus diberikan kepada pembinaan tajwid secara berkala, karena pemahaman yang kurang terhadap kaidah membaca Al-Qur’an dapat menghambat perkembangan kemampuan santri.
Dalam proses tersebut, standarisasi bacaan menjadi kunci agar kualitas bacaan tetap terjaga, baik dalam lingkungan pondok maupun di kelas. Penilaian kelayakan bacaan tidak hanya dilihat dari pencapaian hafalan khatam, melainkan lebih mengutamakan kualitas dan ketepatan bacaan. Santri yang belum khatam namun memiliki bacaan yang bagus dan cepat mengingat akan lebih diprioritaskan naik kelas.
Baca juga: Bersihkan Hidung Saat Wudhu: Rahasia Lawan Virus dan Jaga Kesehatan!
Pendekatan peer learning juga diterapkan dengan melibatkan senior dalam mengawasi dan mendampingi para santri sebelum mereka melaporkan bacaan kepada pengasuh. Sistem ini tidak hanya membantu meningkatkan kemampuan, tetapi juga menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kekompakan antar santri.
Lebih jauh, Ibu Nyai Maftuhah menekankan nilai spiritual dan keberkahan dalam belajar Al-Qur’an. Baginya, memiliki Al-Qur’an adalah sebuah anugerah yang membawa rasa cukup dan ketenangan, bahkan dalam keterbatasan materi. Ia mencontohkan pengalaman pribadinya yang meyakini bahwa menjaga dan merawat Al-Qur’an adalah sumber rezeki dan kelancaran dalam berbagai urusan hidup.
Bagi beliau, membaca Al-Qur’an bukanlah aktivitas yang dilakukan hanya ketika sempat, melainkan harus menjadi kebiasaan dan kebutuhan utama sebelum menjalani aktivitas duniawi. Membaca Al-Qur’an dengan khusyuk dan pada waktu yang tepat, seperti sebelum terbit matahari dan saat kondisi tenang, dapat menumbuhkan kedamaian dan keberkahan dalam hidup.
Harapan besar disampaikan Nyai Maftuhah terkait perkembangan tahfidz di Indonesia. Ia menyambut positif gelaran Multaqa’ Ulama Al-Qur’an Nusantara yang menjadi momentum untuk merumuskan manajemen dan kurikulum yang lebih seragam dan terstruktur di berbagai lembaga pendidikan. Dalam hal ini, penting untuk membangun semangat dan ghiroh para hafidz dan hafidzah agar tidak hanya berhenti pada tahap hafalan pasif, melainkan terus aktif meningkatkan kualitas ilmu dan pemahaman.
Salah satu gagasan menarik yang ia gaungkan adalah program “Buah Tahfidz,” yang mendorong setiap keluarga yang memiliki anggota hafidz atau hafidzah untuk melahirkan generasi penghafal Al-Qur’an berikutnya. Konsep ini tidak hanya bertujuan memperbanyak jumlah penghafal, tetapi juga menanamkan nilai keberlanjutan dan pewarisan ilmu yang kuat dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Secara keseluruhan, pendekatan pendidikan Al-Qur’an yang diterapkan oleh Ibu Nyai Maftuhah mengedepankan keseimbangan antara kualitas bacaan, pemahaman, serta pengembangan spiritual dan sosial para santri. Hal ini sejalan dengan semangat wasathiyah yang mengutamakan moderasi dan keadilan dalam proses pendidikan agama, sehingga dapat mencetak generasi yang tidak hanya hafal Al-Qur’an, tetapi juga mampu mengamalkan dan memahami maknanya secara mendalam.
Baca juga: Bangun Hidup Seimbang: Mulai dari Kewajiban, Bukan Tuntutan
