Malam Berdarah Utsman: Menunggu Ajakan Rasulullah di Tengah Pemberontakan

Kisah Opini Tokoh

Annubala ID – Umat Muslim dirundung pilu kembali setelah kewafatannya Khalifah Umar, yang disusul dengan tragedi paling tragis bagi umat Islam, yaitu kejadian yang menimpa Khalifah Utsman bin Affan. Betapa tidak, para demonstran atau pemberontak itu melakukan tindakan kriminal terhadap sosok yang sudah lanjut usia dan sosok yang diberi kabar gembira akan masuk surga.

Ada salah satu riwayat yang menjelaskan tentang aksi pembunuhan berencana terhadap Khalifah Utsman. Berawal dari delegasi penduduk Mesir yang dipimpin oleh al-Ghafiqi bin Harb al-Aki bersama Ibnu Sauda, dalang kejahatan ini, dengan jumlah pemberontak sekitar 600 orang.

Disusul dengan delegasi penduduk Kufah yang berkisar 200 orang dan penduduk Bashrah yang berkisar 100 orang. Mereka semua datang menuju Madinah, namun dihalau oleh para sahabat yang telah mengetahui rencana mereka, yaitu pemberontakan terhadap kebijakan Khalifah. Hingga akhirnya mereka kembali pulang.

Namun, selang beberapa hari, delegasi Mesir kembali datang ke Madinah dengan alasan bahwa Khalifah Utsman mengirimkan surat kepada gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar.

Rombongan mereka yang semakin menambah penasaran para sahabat adalah mengapa rombongan delegasi Kufah dan Bashrah pun kembali datang ke Madinah. Hal ini menunjukkan adanya propaganda yang memang sudah dirancang dan direncanakan.

Baca juga: Iqra’: Satu Kata yang Mengubah Dunia

Lalu, para delegasi (pemberontak) itu mengepung Khalifah Utsman di rumahnya. Mereka melarang Utsman untuk shalat di masjid dan mengambil air minum. Kemudian terjadilah percakapan mengenai surat palsu yang beratas nama Utsman tersebut.

Utsman pun menasehati mereka akan perlakuan anarkis terhadap dirinya dan membantah bahwa surat itu bukan darinya, namun mereka enggan dan mengacuhkan nasehat Khalifah Utsman pada sekian kalinya. Selanjutnya, Khalifah Utsman masuk rumah dan membuka (membaca) mushhaf. Tiba-tiba Muhammad bin Abu Bakar muncul mendatangi Khalifah Utsman dan merenggut janggutnya.

Utsman berkata, “Engkau menuntut satu perkara yang tak pernah dikehendaki oleh Abu Bakar, ayahmu.” Muhammad bin Abu Bakar pun berbalik malu dan meninggalkan Utsman. Tak lama kemudian, para pemberontak itu hendak menerobos masuk ke dalam rumah Khalifah.

Namun usaha mereka ditahan oleh putra-putra para sahabat. Utsman tidak ingin dibela dan dilindungi. Ia meminta mereka untuk kembali ke rumah masing-masing. Meski demikian, para sahabat bersikeras tidak mau meninggalkan Utsman.

Namun, para pemberontak itu mendesak dan menerobos masuk ke rumah Khalifah Utsman dari segala penjuru. Mereka menemukan Khalifah Utsman sedang membaca mushhaf Al-Qur’an dengan sikap sabar dan ridha. Lalu seorang pemberontak datang dengan pelepah kurma di tangannya.

Kemudian menghantamkannya ke kepala Utsman hingga pecah. Kepala Utsman bersimbah darah dan bercucuran hingga menetes pada mushhaf yang di hadapannya.

Baca juga: Isra’ Mi’raj: Bukan Sekadar Perjalanan, tapi Panggilan Jiwa

Setelah itu, pemberontak lainnya yang berada di dalam rumah menghajar Utsman bergantian. Tiba-tiba seseorang (riwayat mengatakan ia adalah Amr bin Hamiq Al-Khuza’i) melompat dan menusuk dada Utsman dengan pedang. Ada yang mengatakan Utsman sempat menghalau dengan tangannya. Orang itu lalu menebas tangan Utsman hingga putus pergelangannya.

Na’ilah binti Farafishah pun menghambur ke arah suaminya. Ia memekik histeris dan memeluk jasadnya. Na’ilah berkata, “Ya Binti Syaiban, apakah Amirul Mukmini terbunuh?”

Na’ilah lalu mengambil pedang, namun seseorang langsung menebas tangannya sampai putus. Setelah itu, mereka menjarah harta Khalifah Utsman sebanyak 3.500.000 dirham dan 150.000 dinar. Bahkan mereka menjarah harta perbendaharaan Baitul Mal kaum Muslimin hingga terkuras habis.

Pemaparan yang dilakukan oleh Prof. Dr. Ibrahim al-Quraibi sangat mengesankan, bahkan dia mampu memunculkan riwayat-riwayat tentang peristiwa tertentu dengan beragam versi. Lalu ia himpun dalam satu kesimpulan yang singkat dan padat.

Sehingga narasi yang dibicarakan ini memperkuat peristiwa yang terjadi, khususnya pada kasus pembunuhan Utsman ini. Arah pandang pengarang buku ini juga memberikan belaan dan meluruskan kejadian yang dianggap orang banyak negatif.

Menurut hemat penulis, pemberontakan, pengepungan, sekaligus pembunuhan ini bersumber dari niat jahat seseorang yang ingin mengambil hak kekhalifahan Utsman. Bahkan mereka sampai berani berkesimpulan untuk membunuh Khalifah dengan cara yang dzalim dan semena-mena.

Baca juga: Ketika Adzan Magrib Terdengar: Langsung Buka atau Jawab Dulu?

Secara historis, walaupun Khalifah Utsman bertindak nepotis dan seakan korup terhadap harta yang ia bagikan kepada pejabat-pejabatnya (keluarganya), namun ia tetap berusaha untuk meredakan konflik yang terjadi pada masa itu.

Misalnya, ketika orang-orang menuntut untuk menurunkan seseorang dari suatu jabatan, Khalifah Utsman menuruti dan menggantinya sesuai dengan yang mereka inginkan. Namun tetap saja ada sekelompok orang yang ingin menggulingkannya.

Ini merupakan suatu kemurnian yang benar-benar tidak mengakui hak Khalifah Utsman, sehingga mereka membuat skenario seolah-olah punya landasan untuk beralasan.

Tetapi di balik semua kisah ini, dilihat dari jati diri Khalifah Utsman bin Affan, ia benar-benar orang yang menerima keadaan yang sedang menimpa dirinya dengan ridha. Padahal, kalau direnungkan, kenapa Khalifah Utsman pada waktu itu tidak mengundurkan diri saja, supaya konflik seketika itu mereda dan dimulai pelantikan baru lagi?

Baca juga: Jika Puasa Hanya Rutinitas, Di Mana Letak Keistimewaannya?

Ini dikarenakan ia teringat akan janji Nabi bahwa dirinya tidak boleh mengundurkan diri dari kepemimpinan. Maka setelah mengetahui tentang janji itu, Khalifah sadar bahwa suatu saat akan terjadi pemberontakan yang mendesak dirinya sehingga ia tidak boleh mundur dan harus berakhir dengan rengutan nyawa.

Bisa jadi ia teringat akan perjalanan bersama Nabi, Abu Bakar di Gunung Uhud. Ataukah ia teringat akan peristiwa sumur Aris, ketika itu Rasulullah menjanjikan dirinya masuk surga karena musibah yang akan menimpanya.

Maka benar sekali bahwa Utsman mengetahui, suatu saat ia akan mati terbunuh melalui konflik-konflik ini, sehingga ia harus siap menentukan jalan hidup yang dipilihnya dengan ridha, sabar, dan rela.

Terbukti juga malam sebelum pembunuhan Utsman, ia bermimpi Rasulullah, diajak berbuka puasa bersama Nabi, dan kebetulan Utsman terbunuh dalam keadaan berpuasa, sehingga terwujudlah keinginannya untuk memenuhi ajakan Rasulullah berbuka puasa bersamanya di Surga.

Baca juga: 6 Sunnah Ramadhan: Rahasia Kecil dengan Ganjaran Besar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *