Annubala ID – Pembelajaran Al-Qur’an bukan hanya soal menghafal dan membaca, melainkan juga memahami berbagai disiplin ilmu yang melingkupinya, salah satunya adalah Ulumul Qur’an. Prof. Dr. K.H. Ahmad Bha’uddin Nursalim—atau yang lebih dikenal sebagai Gus Baha’—mengajak kita untuk menelusuri makna dan kedalaman ilmu ini secara lebih kritis dan reflektif.
Menurut Gus Baha’, dalam mempelajari Ulumul Qur’an, seseorang perlu mencari sisi ekstrem atau pemahaman yang lebih luas. Misalnya, dalam konteks ayat “Huddal Lil Muttaqin” yang berarti “petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,” banyak orang idealis mengartikan takwa secara ketat sebagai kepatuhan penuh pada segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya.
Namun, kenyataannya, sejumlah sahabat Nabi, termasuk Sayyidina Umar, masuk Islam setelah mendengar bacaan Al-Qur’an, meskipun sebelumnya mereka belum dikenal sebagai orang bertakwa. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk (Hudallinnas) bagi seluruh manusia, bukan hanya untuk yang sudah bertakwa semata.
Selain itu, Gus Baha’ menjelaskan bahwa ijtihad—usaha intelektual dalam memahami dan menerapkan hukum Islam—adalah sebuah logika yang tidak selalu konsisten secara mutlak, karena Nabi Muhammad SAW dalam setiap ucapannya senantiasa melakukan analisis mendalam sesuai konteks.
Baca juga: Ar-Risalah An-Nafisah: Najis dalam Perspektif Fikih Sunda (Karya K.H. Abdurrohim) – Part 2
Contohnya adalah tata cara mengimami shalat. Nabi menegaskan bahwa imam tidak boleh langsung membelakangi makmum setelah selesai shalat karena dapat menimbulkan kebingungan, terutama jika ada makmum yang baru datang. Contoh ini memperlihatkan bahwa ijtihad adalah proses dinamis yang membutuhkan pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan sekadar keputusan mekanis.
Gus Baha’, yang sangat menggemari bidang Ushul Fiqih, mengutip pengalaman keluarganya yang juga meminati bidang ini. Serta menegaskan pentingnya memegang kaidah yang kuat dalam ilmu agama. Beliau mengingatkan bahwa agama ini menanggung semua umat, baik yang kuat maupun yang lemah. Orang yang kuat bertanggung jawab menanggung zakat, sedangkan yang lemah menerima zakat. Hal ini melambangkan keseimbangan dan keadilan yang menjadi ciri agama Islam.
Dalam sebuah kisah yang beliau ceritakan, seorang istri mengeluhkan suaminya yang sering menonton televisi hingga larut malam sehingga meninggalkan shalat Subuh dan qiyamul lail. Gus Baha’ memandang bahwa meskipun secara lahiriah suami tersebut meninggalkan ibadah. Ada sisi positif tersembunyi—yaitu ia menjauhkan diri dari maksiat seperti pesta pora dan minuman keras.
Baca juga: Qiraah Sab’ah: Ragam Bacaan Al-Qur’an yang Diakui Ulama
Oleh karena itu, dalam perspektif beliau, tidur seseorang juga dapat menjadi bentuk ketenangan dan ruang untuk menerima ilham atau busyrah dari Allah yang orisinil. Karena itu, Gus Baha’ lebih banyak melakukan wiridan sebelum tidur dibanding setelah shalat.
Melalui pemikiran Gus Baha’, kita diingatkan bahwa belajar Al-Qur’an bukan sekadar rutinitas. Melainkan sebuah perjalanan ilmu dan spiritual yang membutuhkan kesungguhan, kebijaksanaan, dan penghayatan mendalam. Agar cahaya Al-Qur’an benar-benar dapat menerangi jalan kehidupan.
Dalam mengakhiri pemaparannya, Gus Baha’ menekankan pentingnya membawa Al-Qur’an dengan perangkat ilmu yang lengkap agar dapat memahami maknanya secara mendalam. Beliau juga menggarisbawahi pentingnya ilmu balaghoh—ilmu tentang keindahan dan kejelasan bahasa Al-Qur’an. Karena dengan ilmu ini, kita dapat membedakan antara ayat yang bermakna harfiah dan ayat yang memerlukan penafsiran (ta’wil). Tanpa penguasaan ilmu balaghoh, kita mudah terjebak dalam pemahaman yang kaku dan literal, yang berpotensi menyimpang dari makna hakiki Al-Qur’an.
* Disarikan dalam acara Multaqa Al-Qur’an Nusantara di Yogyakarta
