Annubala ID – Ruang lingkup media sosial (medsos) kini sudah memuat semua jenis, dari mulai meteri pembelajaran sekolah, surat kabar, opini, liputan berita, dan sejenisnya. Sehingga kemampuan seseorang dalam mengaskes dunia medsos sangat dipertimbangkan, ia harus mampu beradaptasi dengan lajunya media online, agar tidak mengalami gagal paham dalam menerima informasi.
Bagi pengguna medsos kini sudah saatnya memerlukan suatu pegangan yang dapat memfilter konten atau informasi yang negatif. Sebab banyak sekali oknum media yang secara sadar menyajikan konten atau informasi hoax, propokatif atau doktrin-doktrin yang menyimpang. Pegangan yang dimaksud ialah literasi media.
Pahami Literasi Media
Literasi media adalah penekanan pada kemampuan seseorang untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan media sebagai penyedia dan pengelola informasi terpercaya (Simarmata, dkk, 2020: 104). Pada dasarnya literasi media merupakan aktivitas yang menekan aspek edukasi kepada masyarakat supaya mereka mengetahui bagaimana mencari sumber informasi yang bermanfaat dan sesuai kebutuhan mereka sendiri.
Dalam mencari sumber informasi seseorang nyaris tidak terlepas dengan akses internet, ia akan mencari diberbagai situs web yang berderetan. Terkadang ia tidak mengetahui mana sumber informasi yang valid atau tidak, akhirnya ia sembarangan mencomot informasi yang mungkin salah.
Oleh karena itu, penulis rasa literasi media saat ini sangat diperlukan bagi seluruh elemen masyarakat dalam mengakses medsos. Kenapa masyarakat diperlukan untuk mengetahui literasi media?
Sebab di era industri 4.0 atau big data, segala informasi dan komunikasi yang dulu hanya bisa diakses dengan bertemu langsung atau membaca buku. Semua itu, kini bisa diakses melalui media online baik positif atau negatif. Oleh karenanya, kabar hoax, isu-isu propokatif, ancaman, dan pemerasan merupakan perihal yang patut diresahkan oleh warganet.
Baca juga: Ramadhan Hacks: Tips dan Trik Maksimalkan Ibadah (1)
Terutama di masa pandemi yang sedang berlangsung ini, pengguna medsos kian meningkat pesat. Data yang dilansir oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bahwa periode 2019-kuartal II/2020 tercatat jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa (Databoks.Katadata.co.id, 2020) dari jumlah penduduk di Indonesia 270,20 juta jiwa, artinya 73,7 persen dari penduduk di Indonesia menggunakan internet (Statistik Indonesia 2020, 2020).
Karenanya, dengan masifnya pengguna medsos, warganet dituntut untuk memilah sumber informasi online yang kredibel. Kebijakan bermedsos dapat mengatasi dan memfilter sumber informasi yang mengandung unsur-unsur negatif.
Namun tidak sedikit pula, mereka yang ceroboh dan tak selektif, asal mencomot sumber informasi, justru terindikasi dalam konten yang mengandung unsur negatif (baik berupa hoax, propokatif atau lainnya), hal itu mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman informasi.
Sebagaimana yang diresahkan oleh kita semua, pemahaman yang salah, lambat laun akan mempengaruhi pola pikir seseorang. Bahayanya, bila orang tersebut ternyata terpengaruh oleh gerakan-gerakan ekstrem (paham Radikalisme). Pemahaman yang bersimpangan dengan nilai-nilai ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja).
Hal ini bukanlah kebohongan belaka. Informasi terkait pelajar yang terjerumus paham radikal terjadi di sebuah Universitas ternama di Depok, hingga saat ini sudah ada 3 mahasiswa yang pergi ke Syuriah untuk bergabung bersama ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) (Nurkholis, 2017, p. 141).
Belakangan ini pula, isu radikalisme kian menjadi momok yang diresahkan oleh masyarakat. Sudah ada 6 kasus di tahun 2019 terkait isu radikalisme yang sudah terekam oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Majalah BNPT, 2020) . Kebanyakan alasannya adalah adanya kesalahpahaman dalam menguasai panggung media online. Tentu, isu seperti ini sangat krusial demi keselamatan generasi milenial dan Z dari serangan radikalisme.
Dari upaya literasi media di atas, ini menjadi langkah awal dalam meng-counter isu-isu radikalisme, namun penulis rasa langkah demikian masih belum cukup mengatasi ketegangan bahayanya radikalisme. Oleh sebabnya, selanjutnya penulis tawarkan langkah kedua yaitu dengan mengenal konsep Deradikalisasi Agama.
Pahami Deradikalisasi Agama
Sebuah metode dan daya upaya dalam melawan isu-isu radikalisme. Nasaruddin Umar (2014), memberikan tawaran terkait hal ini, beliau menyatakan salah satu upaya melawan radikalisme adalah Deradikalisasi Agama. Menurutnya, Deradikalisasi Agama adalah upaya menghapuskan atau menanggulangi pemahaman yang radikal (keras) terhadap pemahaman teks-teks keagamaan; Al-Qur’an dan Hadis.
Mengapa isu radikalisme selalu inheren dengan isu keagamaan? Sebab bagaimana pun juga paham radikal merupakan hasil interpretasi atas pemahaman seseorang terhadap Al-Qur’an dan Hadis. Karena itu pula, yang terjadi dalam isu-isu radikalisme adalah kerap mengatasnamakan agama sebagai landasan utamanya (Endang Turmudi, Riza Suhbudi, dkk, 2005).
Menurut pernyataan Fazlur Rahman (1997), adanya disunderstanding terhadap Al-Qur’an atau Hadis. Karena kedua sumber Islam tersebut masih mengandung pemahaman hukum yang masih umum terkait konsep jihadis, sehingga melahirkan multi-interpretasi terhadap makna kandungannya.
Namun, maksud dari Rahman sendiri hendak menegaskan bahwa disamping memahami hukum adalah hal yang penting, juga semangat dasar dari Al-Qur’an yaitu prinsip-prinsip dan seruan moral jauh lebih penting.
Baca juga: Ramadhan Hacks: Agar Bisa Maksimalkan Ibadah (2)
Sederhananya Fazlur Rahman hendak mengatakan, bila seseorang memahami kandungan Al-Qur’an atau Hadis, maka lihatlah semangat kandungan Al-Qur’an itu sendiri, artinya bukan (hukum) perintah jihadnya, melainkan semangat dalam konteks sekarang mengapa Allah menjelaskan perintah jihad.
Selanjutnya Rahman menguraikan upaya memahami Al-Qur’an; pertama, seseorang harus mengkaji Al-Qur’an dari sisi historis untuk menilai tema-tema dan gagasannya. Jika tidak, besar kemungkinan seseorang akan salah paham dalam memahami poin-poin dari ajarannya; kedua, seseorang harus mengkajinya dari latar belakang sosio-historisnya. Tanpa melihat latar belakang mikro dan makronya secara memadai, seseorang akan salah tangkap terhadap maksud Al-Qur’an serta tindakan Nabi baik di Makkah dan Madinah.
Nasaruddin Umar pun menegaskan bahwa Deradikalisasi Agama merupakan metode yang paling tepat daripada metode lainnya dalam melawan isu-isu radikalisme. Dengan menjadikan agama sebagai landasan, upaya deradikalisasi pemahaman Al-Qur’an terkait konsep jihad atau al-harb, harapannya mampu memberi solusi atas ketegangan isu-isu radikalisme di tengah masyarakat.
Kesimpulan
Wacana di atas bila sampai sekarang tidak ada tindak lanjut dari peran kita sendiri, imbasnya kelak di masa mendatang akan terlahir suatu generasi muda yang cenderung ekslusif dan intoleran, bahkan bisa mengarah pada paham radikalisme. Terlebih saat ini, pembelajaran daring tengah berlangsung secara masif, artinya potensi radikalisme bisa semakin berkembang kapan pun dan di mana pun.
Jadi, upaya melawan paham radikalisme saat ini adalah dengan memahami konsep Literasi Media dan Deradikalisasi Agama. Penulis jelaskan dalam beberaapa poin: Pertama, literasi media di sini sebagai upaya seseorang untuk mampu mengakses medsos dengan bijaksana, dengan memilah dan memfilter sumber informasi yang mengandung unsur negatif, baik berupa hoax, propokatif, atau doktrin-doktrin yang menyesatkan.
Kedua, deradikalisasi agama sebagai benteng keimanan bagi setiap individu, sebab bila seseorang masih belum memahami dasar-dasar ajaran agama Islam, pada akhirnya, besar kemungkinan ia akan terjerumus juga pada doktrin-doktrin radikalisme yang lebih kuat.
Maka, upaya literasi media merupakan jihad saat ini dalam melawan radikalisme secara “Opensif”. Sedang upaya deradikalisasi agama merupakan jihad secara “Defensif”. Dengan mensinergikan kedua upaya ini, kita semua dapat terselamatkan dari bahayanya radikalisme yang semakin gencar. Dengan begitu, kita sedikit banyak telah menyelamatkan bangsa ini dari rongrongan paham radikalisme.
Sumber Referensi
- Dimas Jarot Bayu (2020a). ‘Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Capai 196,7 Juta’.
Available at: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/11/11/jumlah-pengguna-internet-di-indonesia-capai-1967-juta#. - Endang Turmudi, Riza Suhbudi, dkk (2005) Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
- Iqbal Qholid, dkk, Moch. (2020) Literasi Media dan Peradaban Masyarakat.
Malang: PT. Cita Intrans Selaras. - Nurkholis, A. (2017) Merajut Damai dalam Kebinekaan.
Jakarta: PT Gramedia. - Rahman, F. (1997) Islam, terj. Ahsin Mohammad.
Bandung: Pustaka. - Simarmata, dkk, J. (2020) Pendidikan Di Era Revolusi 4.0 Tuntutan, Kompetisi, dan Tantangan.
Medan: Yayasan Kita Menulis. - Statistik Indonesia 2020 (2020). Badan Pusat Statistik.
- Sujatmiko, dkk (2020) Majalah BNPT.
Bogor: PMD. - Umar, N. (2014) Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis.
Jakarta: PT Gramedia.
