Keteladanan I Gusti Ngurah Rai: Menanamkan Jiwa Kepemimpinan di Kalangan Santri

Kisah Tokoh

Annubala ID – Terbebasnya Desa Marga Tabanan, Bali dari tangan tentara Belanda tentu tidak dapat terlepas dari sejarah juang para pahlawan kala itu. I Gusti Ngurah Rai merupakan salah seorang tokoh pejuang yang telah masyhur di berbagai kalangan masyarakat, Bali pada khususnya. Pada zamannya, Ngurah Rai menjadi ikon perlawanan masyarakat Bali terhadap Belanda.

Lahir pada 30 Januari 1917 di desa Carangsari, kecamatan Petang, kabupaten Badung, Bali, Ngurah Rai merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Ia lahir dari keluarga bangsawan dari Puri Agung Carangsari, yakni pasangan I Gusti Ngurah Patjung dengan I Gusti Ayu Kompyang. oJika dilihat dari namanya, Ngurah Rai berasal dari kasta ksatria. Ada yang mengatakan bahwa ia memiliki jalur keturunan ksatria Majapahit yakni Aria Setong, salah seorang anggota Marga Aria Kadari yang datang ke Bali pada tahun 1343 M.

Ngurah Rai kecil menempuh pendidikan formalnya di HIS, Denpasar. Setelah tamat, ia melanjutkan studinya di MULO, Malang. Dari sinilah bibit-bibit nasionalisme dan keberanian Ngurah Rai mulai nampak, yang memberikan pengaruh besar pada kepribadiannya. Setelah dari MULO, ia memutuskan untuk menekuni ilmu kemiliteran di Gianyar, Bali. Pada tahun 1936, Ngurah Rai meneruskan karier militernya di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang. Kemudian masuk pendidikan Artileri di Malang.

Baca juga: Ukhuwah Khalqiyyah dan KH. Ali Maksum

Pada masa kependudukan Jepang, Ngurah Rai sempat menjadi intel sekutu di daerah Bali dan Lombok. Akan tetapi setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pasukan BKR yang telah terbentuk lebih awal berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil di Bali.

Ia segera bergabung dengan TKR dan menjadi komandan TKR Sunda Kecil. Pada tahun 1946, Ngurah Rai pergi ke Gondokusuman, Yogyakarta untuk berkonsolidasi dengan markas pusat TKR. Sampainya di ibu kota, Ngurah Rai resmi dilantik menjadi komandan resimen Sunda Kecil dengan pangkat Letnan Kolonel.

Ngurah Rai kemudian memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Waktu itu, Bali berada di bawah kuasa Belanda dan TKR Sunda Kecil telah terpecah-belah. Ngurah Rai bukan seorang pengecut yang lebih memilih berpindah haluan dan meninggalkan rakyat, demi kejayaannya sendiri. Akan tetapi, ia adalah pejuang yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi, rela berkorban, dan tidak mau berkompromi dengan penjajah.

Singkat cerita, Ngurah Rai pernah ditawari pemerintah Belanda memimpin suatu daerah dengan jabatan bupati dan diiming-imingi gaji yang besar, tetapi ia tolak mentah-mentah dan lebih memilih berjuang bersama para prajuritnya. Pasukan Ngurah Rai lebih memilih mati berkalang tanah daripada harus hidup di bawah kaki penjajah.

Ngurah Rai mencari akal untuk menyatukan kembali kekuatan pasukannya, lalu menyusun rencana untuk melancarkan aksi perlawanan terhadap Belanda. Oleh karena itu, ia membentuk pasukan militan yang diberinya nama Ciung Wanara dan segera melancarkan serangan ke objek vital Belanda. Awalnya, pasukan Ciung Wanara berhasil untuk memukul mundur benteng pertahanan Belanda. Tetapi pada 20 November 1946, Belanda mengirim kekuatan yang lebih besar dan melakukan serangan balik terhadap pasukan Ngurah Rai yang bertahan di desa Margarana. Desa ini menjadi pertahanan terakhir mereka dengan kondisi geografis yang tidak menguntungkan, karena terbelah jurang yang dalam.

Baca juga: Jejak Syariat Terdahulu: Menemukan Hikmah dan Syukur dalam Sejarah

Walaupun jumlah pasukan tidak berimbang, pasukan Ngurah Rai tetap berjuang sampai titik darah penghabisan. Pasukan Ciung Wanara terdesak dan Ngurah Rai segera meneriakkan “Puputan!”. Mereka bertempur habis-habisan, hingga Ngurah Rai dan pasukannya gugur di medan juang, menjadi kusuma bangsa. Ngurah Rai dimakamkan di desa Margarana, tempat dimana ia bertempur. Ia gugur di usia muda, 29 tahun. Pada 9 Agustus 1975, pemerintah meneguhkan I Gusti Ngurah Rai sebagai Pahlawan Nasional dengan SK Presiden RI No. 63/TK/1975 dan menaikkan pangkatnya menjadi Brigadir Jenderal Anumerta, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas jasa besarnya dalam perjuangan melawan Belanda.

Pertempuran Margarana ini menjadi jawaban atas kekecewaan rakyat Bali terhadap hasil dari perundingan Linggarjati, mengenai pembagian wilayah Indonesia yang dibagi menjadi Jawa, Sumatera, dan Madura saja. Di dalamnya tidak menyertakan Bali sebagai bagian dari Indonesia. Bahkan, Belanda sepertinya berkeinginan untuk mendirikan Negara Indonesia Timur dengan memboncengi pasukan NICA dan memasukkan Bali sebagai bagian di dalamnya. Perasaan geram atas ketidakadilan dan posisi Belanda yang semakin mendominasi inilah yang mendorong pasukan Ngurah Rai mencetuskan perlawanan.

Relevansi Kepemimpinan I Gusti Ngurah Rai dalam Dunia Pesantren

Gelar kepahlawanan pantas tersemat dalam diri I Gusti Ngurah Rai. Sikap dan semangat juang pasukan Ngurah Rai menjadi warisan keteladanan bagi pemuda-pemudi masa kini sebagai generasi penerus perjuangan. Jiwa kepemimpinan telah mengakar dalam diri Ngurah Rai. Ia merupakan sosok pemimpin yang merangkul rakyatnya dan figur teladan yang baik sepanjang masa. Semangat juang yang ia gelorakan, sikap patriotisme yang ia tunjukkan, dan sikap rela berkorban jiwa raga ia persembahkan sepenuhnya untuk Indonesia, Bali pada khususnya.

Lantas, bagaimana relevansi konsep kepemimpinan I Gusti Ngurah Rai tersebut jika dilihat dari kacamata pesantren? Kemampuan pemimpin adalah menjadi model keteladanan yang menginspirasi dan memotivasi orang lain. Perilaku pemimpin adalah model untuk mengukur atau menetapkan perilaku dan pilihan bagi anggota untuk mengikuti tingkah laku pemimpin tersebut. Sebagai pahlawan bangsa, kepemimpinan Ngurah Rai berhasil memberikan atmosfer yang menimbulkan rasa empati dan semangat juang bagi pasukannya.

Di kalangan pesantren, kepemimpinan masyhur disematkan untuk seorang kyai. Peran kepemimpinan kyai dalam membangun karakter generasi muda (santri) adalah sebagai model peran atas pemahaman laku benar atau menyimpang dalam tatanan nilai dan norma kemasyarakatan, artinya bukan pada sikap otoritas perintah seorang pemimpin yang ditonjolkan, melainkan pada sikap uswah.

Hal ini menggambarkan bahwa jiwa kepemimpinan juga lahir dari pesantren, dengan kyai sebagai model keteladanan santri. Relevansi kepemimpinan Ngurah Rai dengan model kepemimpinan pesantren, tergambar pada jiwa nasionalisme yang tinggi, rela berkorban jiwa dan raga demi mempertahankan jati diri bangsa, seperti yang tersemat dalam semboyan “NKRI harga mati!”.

Generasi sekarang adalah pemimpin masa depan yang akan menggantikan jabatan kepemimpinan, seperti ungkapan bahwa syubannu al-yaum rijalu al-ghodan, pemuda sekarang adalah pemimpin masa depan. Untuk itu, membekali diri dengan keilmuan adalah sebuah keniscayaan. Santri di masa depan diharapkan mampu mengambil peran sebagai pelaku dan mampu memposisikan diri di masyarakat, serta mengolah peran kepemimpinan sesuai yang dicontohkan kiai-nya, untuk melanggengkan warisan para pahlawan yang rela mati demi memperjuangkan keutuhan bangsa.

Penulis: Jauharotun Nafiisah

Baca juga: Iqra’: Satu Kata yang Mengubah Dunia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *