Jihad Tidak Melulu Soal Perang, Fathul Mu’in Ungkap Makna Sebenarnya!

Opini

Annubla ID – Mendengar kata jihad lazimnya sebagian orang berasumsi pada pemaknaan ihwal peperangan antar satu kelompok dengan kelompok lain. Hal ini sangatlah wajar, sebab secara historis pada awal penyebaran Islam pertama kali, teks-teks keagamaan membalutnya dengan istilah “jihad fi sabilillah” (berperang di jalan Allah).

Meskipun pada dasarnya, Rasulullah tidak serta merta memberikan perintah kepada para Sahabat secara kontinu untuk berperang melawan orang-orang kafir.

Di samping itu pula, sebenarnya Rasulullah hendak mengajarkan jihad tanpa harus menodongkan senjata kepada lawannya, beliau berjihad dengan perangai dan kasih sayangnya, baik sesama muslim ataupun non-muslim, dalam arti lain peran terbesar dari perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan Islam adalah dakwah dengan akhlak karimah.

Dari sini tampak pemahaman konsep jihad pada masa Nabi perlu adanya reinterpretasi (pemahaman ulang) untuk masa sekarang. Benarkah jihad yang dimaksud Nabi adalah jihad “fi sabilillah” demi melangkah untuk menyerang musuh Allah? Atau sebenarnya apa pesan yang hendak Rasulullah berikan mengenai makna jihad?

Pada pembahasan kali ini, penulis berusaha menjawab pemahaman istilah jihad dalam framing jurisprudence yang berdasarkan literatur fikih dalam kitab Fathul Mu’in karya Ahmad Zainuddin Al-Malibary. Dalam memperkuat argument ini, penulis bertumpu pada syarah kitabnya yakni I’anah Al-Thalibin karya Abu Bakar Syatha’.

Penulisan ini hendak menyikap bagaimana pembacaan jihad dalam perspektif kitab Fathul Mu’in. Kategori seperti apa yang terkandung dalam definisi jihad ala Fathul Mu’in?

Makna Jihad

Secara laksikal kata جِهَاد terambil dari kata جَهَدَ yang dalam kamus Matnul Lughah diartikan dengan bersungguh-sungguh, kekuatan, atau upaya keras. Lalu turunannya seperti اِجْتَهَدَ artinya adalah bersungguh-sungguh dan berupaya keras dalam mencari sesuatu baik ucapan dan perbuatan, dan arti ini adalah makna yang sesungguhnya (asal).

Lalu kata جِهَاد sendiri adalah al-mujahadah (sungguh-sungguh), lalu ditendesikan pada makna peperangan di jalan yang benar. Ada pula مُجْتَهِد artinya orang yang berijtihad, biasanya makna ini disadurkan kepada mereka yang berupaya keras mencurahkan pikirannya dalam menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang terperinci.

Artinya bila kita melihat makna jihad dan muradifnya dapat diartikan bahwa jihad adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh demi menggapai kemaslahatan pribadi dan umat. Sebab dari sisi manapun jihad itu diartikan, ia akan mengarah pada kemaslahatan minimal bagi diri sendiri, puncaknya teruntuk umat Islam. Barulah pertanyaan muncul, seperti apakah cara, metode, tahap dalam jihad tersebut?

Ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan kata jihad tertuang diberbagai surat, seperti Al-Baqarah: 216, Al-Anfal: 39, Al-Taubah: 5 & 111, dan Al-Hajj: 39. Lalu hadis-hadis yang berhubungan dengan jihad ada dalam riwayat Abu Dawud no. 2504, Al-Tirmidzi no. 1638, 1650 & 1663, Ibnu Majah no. 2799, dan sebagainya. Secara tekstual, semua sumber di atas menyuarakan jihad sebagai bentuk perlawanan kepada kaum kafir pada masa itu.

Baca juga: Benarkah Iblis Dulunya Malaikat? Ini Pandangan Imam Al-Razi

Berdasarkan literatur fikih, hukum melaksanakan jihad adalah Fardhu Kifayah setiap tahun. Hukum fardhu di sini berdasarkan konsensus ulama, sedang hukum kifayah-nya berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Nisa: 95 dan Al-Taubah: 122. Dengan begitu, hukum jihad bukan termasuk Fardhu ‘Ain.

Abu Bakar Syatha’ menjelaskan bahwa maksud setiap tahun adalah minimal satu tahun sekali, lalu beliau menggambarkan praktiknya seperti menghidupkan ka’bah.

Berhenti pada pemaknaan ini, jihad yang disajikan dalam kitab Fathul Mu’in bukanlah jihad yang sebagaimana kita pahami dengan peperangan melawan kaum kafir. Justru pengarang hendak menyampaikan pesan bahwa jihad sebetulnya tidak melulu perang untuk konteks sekarang.

Hukum jihad Fardhu Kifayah itu ketika kaum kafir berada di negeri sendiri. Sedang hukum jihad menjadi Fardhu ‘Ain, ketika kaum kafir (yang berada di luar) melakukan agresi ke negeri sendiri. Hal ini senada dengan keputusan KH. Hasyim Asy’ari dalam resolusi jihadnya, yakni berjihad dalam radius 94 km dari pusat pertempuran, hukumnya Fardhu A’in. Sementara di luar radius 94 km, berjihad hukumnya Fardhu Kifayah.

Strategi Jihad Kekinian

Selanjutnya, Al-Malibary menarasikan tawaran jihad yang Fardhu Kifayah setiap tahun itu ke dalam empat langkah:

Langkah pertama, قِيَامُ حُجَجٍ دِيْنِيَّةٍ (mengajarkan dogma keagamaan) seperti dalil-dalil akan wujudnya Allah, sifat wajib-Nya, sifat mustahil-Nya, dan sebagainya.

Kemudian قِيَامُ بِحَلِّ مَشْكَلَةٍ فِيْ الدِّيْنِ (mengurai konflik keagamaan) seperti penegasan bahaya praktik syubhat (praktik yang hukumnya masih abu-abu), pemurnian aqidah dari racun-racun bid’ah, dan lainnya.

Langkah kedua, jihad yang ditawarkan Al-Malibary adalah قِيَامُ عُلُوْمٍ شَرْعِيَّةٍ (mendirikan infrastruktur pendidikan) seperti menyediakan lembaga formal ataupun non-formal. Meminjam istilah KH. Sa’id Aqiel Siradj dalam segmen ceramahnya beliau mengartikan قِيَامُ عُلُوْمٍ شَرْعِيَّةٍ dengan “menghilangkan kebodohan”.

Penulis kira pemaknaan keduanya sangat bersinergi, sebab istilah pengasuh pondok Al-Tsaqafah ini melihat dari sudut mafhum mukhalafah (makna keterbalikan).

Dalam hal ini setidaknya makna قِيَامُ عُلُوْمٍ شَرْعِيَّةٍ bisa ditarik dalam skala besar yakni program pemerintah negara atau bisa pula dalam skala kecil seperti aparatur desa atau komunitas tertentu demi suksesi program pendidikan dan menghilangkan kebodohan, terlebih dibangun secara gratis.

Baca juga: Menemukan Makna Toleransi dalam Cahaya Al-Qur’an

Langkah ketiga, yaitu قِيَامُ دَفْعِ ضَرَرٍ مَعْصُوْمٍ (menumbuhkan ekonomi bangsa) seperti menyediakan sandang pangan kepada rakyat-rakyat yang terancam ekonominya, upah pegawai atau pekerja di bawah standar, memfasilitasi lapangan perkerjaan kepada para pengangguran.

Kiai Sa’id mengartikan قِيَامُ دَفْعِ ضَرَرٍ مَعْصُوْمٍ dengan istilah “memberantas kemiskinan”. Mengingat sampai sekarang angka kemiskinan di Indonesia masih menjadi persoalan, yakni di angka 8,57 (BPS, Sep-2024). Oleh karenanya setidaknya dengan melakukan langkah jihad seperti ini dapat memberi potensi dalam pemulihan ekonomi bangsa dan menekan angka kemiskinan.

Langkah keempat, dari penawaran Al-Malibary adalah قِيَامُ أَمْرٍ بِمَعْرُوْفٍ (menegakkan hukum seadil-adilnya). Dalam hal amar-ma’ruf, sudah barang tentu termasuk di dalamnya nahi-mungkar. Dengan demikian jika amar-ma’ruf dijalankan namun nahi-munkar tidak diindahkan, maka hasilnya akan sia-sia, begitu pun sebaliknya.

Begitu juga penegakkan amar-ma’ruf dan nahi-munkar bila dilakukan tanpa adanya pertimbangan (sembrono), tentu akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Oleh sebab itu, pemaknaan amar-ma’ruf dan nahi-munkar di sini menggunakan istilah “menegakkan hukum seadil-adilnya”. Menurut Kiai asal Cirebon ini, beliau mengartikannya dengan istilah “mensolidkan masyarakat”. Dengan demikian, penegakkan amar-ma’ruf dan nahi-munkar harus dilakukan dengan seadil-adilnya, supaya mampu mensolidkan masyarakat tanpa adanya konflik internal ataupun eksternal.

Dari keempat langkah jihad yang ditawarkan oleh Ahmad Zainuddin Al-Malibary dan penegasan dari argumentasi Abu Bakar Syatha’ di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pembacaan jihad yang sangat relevan dalam konteks sekarang adalah bukan jihad yang dilakukan dengan peperangan angkat sejata, tetapi jihad yang lebih sejuk dan nyaman tanpa pertumpahan darah.

Melihat substansi dari jihad yang Rasulullah lakukan sebenarnya bukan mengajarkan kepada umatnya untuk berperang melawan musuh Allah, melainkan Rasulullah hendak mengajarkan kepada umatnya agar berjihad demi kemakmuran dan kemaslahatan umat manusia, baik Islam maupun non-Islam. Sebagaimana penawaran yang cemerlang dari keempat langkah jihad ala kitab fathul mu’in. Wallahu a’lam.

Baca juga: Benarkah Hukum Waris Islam Tidak Adil terhadap Perempuan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *