Ilustrasi Cinta Sejati: Sebuah Refleksi

Opini Sastra

Annubala ID – Bagaimanakah ilustrasi cinta yang sesungguhnya? Apakah cinta yang dimaksud adalah cinta yang tumbuh dari mereka yang berusaha menjalani hubungan sebelum sah dipangkuan wali nikah?

Atau mungkin, cinta itu hadir melalui perjodohan yang diatur oleh wali tanpa sepengetahuan kedua belah pihak? Apakah cinta itu telah tertulis sejak janin berusia empat bulan dalam rahim ibu? Atau mungkin, cinta itu berlabuh di istana khitbah, menanti kedatangan sang pengantar surga?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sering menggelitik pikiran seseorang, membuatnya terperangkap dalam dilema. Jika aku tidak mencari jodoh, lalu dengan siapa jodohku? Atau jika aku hanya menunggu, kapan jodoh itu akan datang? Haruskah menunggu hingga menua?

Sementara yang lain sudah mendapatkan bagiannya? Tidak mengapa jika menunggu jodoh itu datang, tetapi bagaimana jika jodoh itu tak kunjung tiba?

Wahai khalayak cinta, mari kita renungkan bersama. Tuhan menanamkan rasa cinta di lubuk hati setiap makhluk-Nya, bukan sekadar untuk saling mencintai sesama makhluk, tetapi lebih dari itu.

Benar, Tuhan menanamkan rasa cinta untuk saling mencintai antar sesama, namun pada hakikatnya, cinta itu adalah wasilah, sarana untuk menuju cinta yang lebih tinggi: cinta kepada Sang Pencipta Cinta. Sebagai representasi dari pemahaman ini, cinta itu terkadang melintasi makhluk-Nya terlebih dahulu dalam rangka menaiki tingkat mahabbah yang agung ini.

Baca juga: Ketika Adzan Magrib Terdengar: Langsung Buka atau Jawab Dulu?

Cinta adalah sesuatu yang kompleks, sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Namun, cinta memiliki indikator yang dapat dirasakan oleh setiap insan. Pengetahuan menjadi hal pertama yang harus dimiliki dalam mencintai, karena semakin seseorang mengetahui tentang yang dicintainya, maka kecintaannya pun semakin mendalam.

“Tak kenal maka tak sayang,” pepatah ini menggambarkan bahwa tanpa pengenalan, cinta tak akan tumbuh. Oleh karena itu, orang-orang sufi terdahulu, dalam mengenal cinta kepada Sang Pencipta, tidak menyebutnya hanya dengan istilah mahabbah, tetapi mereka menyebutnya dengan makrifat.

Setelah saling mengenal, rasa peduli akan mulai tumbuh. Kepedulian ini menjadi semakin kuat seiring dengan rasa saling menghargai yang tumbuh di antara kedua belah pihak. Menghargai adalah salah satu kunci utama dalam sebuah hubungan yang sehat. Ketika rasa peduli tidak selalu sesuai dengan ekspektasi, akan lebih harmonis jika keduanya saling menghargai.

Dalam cinta, seseorang sering mengalami pasang surut perasaan. Tanpa adanya rasa saling menghargai, hubungan bisa mudah terombang-ambing oleh gelombang kebencian yang akhirnya dapat mengancam keharmonisan hubungan tersebut.

Baca juga: 6 Sunnah Ramadhan: Rahasia Kecil dengan Ganjaran Besar

Selain itu, rasa tanggung jawab juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam cinta. Tanpa tanggung jawab, cinta bisa kehilangan arah. Dengan tanggung jawab, seseorang akan semakin dewasa dalam menjalani hubungan, berani merasakan sakitnya terbanting tatkala jatuh, berani disalahkan jika melakukan kesalahan, dan berani melaksanakan amanah yang diemban dengan penuh khidmat.

Hal ini berlaku tidak hanya dalam hubungan antar sesama makhluk, tetapi juga kepada Sang Khalik. Begitulah kompleksnya cinta, yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Bahkan, para seniman cinta yang telah banyak mengalami perasaan tersebut pun sulit untuk melukiskannya dengan sempurna.

Wahai khalayak cinta, bukankah Allah telah menjanjikan bahwa setiap insan itu saling berpasangan? Jadi, mengapa kita sibuk memikirkan kapan jodoh itu datang? Skenario Allah lebih baik dibandingkan dengan rencana kita. Allah telah mempersiapkan segala rencana-Nya dengan sangat matang.

Terkadang, jodoh itu datang seperti halnya rizki—tak terduga-duga. Lalu, apa yang kita lakukan jika jodoh itu tak kunjung datang? Sebaiknya kita berbalik pandang. Sebelum Allah mempersiapkan jodoh untuk kita, kita harus terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan cara yang terbaik.

Baca juga: Jejak Santri di Jalan Kemerdekaan

Persiapkanlah diri kita dengan belajar, memupuk karier untuk masa depan, mendapatkan pengalaman hidup, dan mengusahakan pekerjaan yang tetap. Semua itu adalah cara kita untuk menyambut rencana Allah dengan hangat. Sebarkanlah undangan hati itu kepada sanak saudara, tunggulah dengan sabar, dan persiapkanlah kalimat kunci dalam ijab qobul saat pernikahan nanti.

Doakanlah yang terbaik untuk sang pengantin baru, semoga kebahagiaan mereka menjadi motivasi bagi mereka yang masih menunggu. Jangan terlena dalam cinta buta yang tak kunjung halal, sampai primadona duduk di pelaminan bersama kita.

Jika cinta itu adalah wasilah untuk menaiki tingkat mahabbah kepada Sang Khalik, maka ukurlah terlebih dahulu. Apakah cinta kita sudah setinggi cinta Majnun kepada Laila, yang begitu mencintai wanita yang dicintainya hingga debu di telapak kaki Laila lebih dicintai daripada seluruh isi dunia ini?

Apakah cinta kita sudah setulus Khadijah kepada Rasulullah, yang mencintai dengan sepenuh hati sehingga segala yang dimilikinya habis terkuras sebagai bukti cinta sejatinya? Bisakah cinta kita seperti ‘Aisyah binti Abu Bakar yang selalu khawatir kehilangan sosok Rasulullah, yang sangat dicintainya? Ataukah cinta kita sudah seperti Fatimah binti Muhammad yang sepenuh hati mengabdi kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib?

Dan yang lebih penting lagi, apakah cinta kita sudah seperti cinta seorang ibu, yang selalu menemani kita dalam suka dan duka? Yang doanya terpanjat di penghujung malam, saat kita terlelap dalam tidur? Cinta yang selalu menasehati dan membimbing kita ke jalan yang benar, yang surga Tuhan kita berada di kedua telapak kakinya—benar, dialah seorang ibu. Akankah cinta kita terbalaskan?

Namun, cinta yang selayaknya kita berlakukan adalah cinta kita kepada Sang Khalik, Tuhan yang Maha Pencipta. Itulah cinta yang sejati, cinta yang tiada bandingannya.

Baca juga: Bolehkah Membaca Mushaf Al-Qur’an Saat Salat? Ini Penjelasannya!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *