Ghibah: Dosa yang Dibungkus Obrolan Ringan

Kajian Opini

Annubala ID – Hari-hari penuh keblingsatan dimulai. Semua larut dalam suasana saling tuding secara diam-diam. Rumah luas di kota itu rasanya menjadi sempit. Bau busuk yang entah dari mana menjadi penyebabnya. Sama seperti yang biasa terjadi, tidak ada yang mau mengaku sebagai pemiliknya. Namun bedanya, kali ini benar-benar karena tak ada yang tahu muasal bau tersebut.

Sampai saat ini masih belum ada diskusi akbar di dalam rumah besar itu. Masing-masing masih sebatas membahasnya atau mengutarakan tersangka menurutnya secara berkelompok. Ibu bersama Ayah menuding.

Kakek bersama Nenek menuding. Kakak bersama Adik menuding. Sopir bersama tukang kebun menuding. Pembantu bersama babysitter menuding. Hanya bayi kecil satu-satunya manusia yang tidak terlibat dalam tuding-menuding ini.

Hingga suatu waktu, Ayah yang baru pulang dari kegusaran tempat kerjanya bertambah gusar dan memutuskan untuk mengadakan diskusi akbar yang wajib diikuti oleh seisi rumah. Diskusi pun dimulai, dengan menanyai satu persatu apakah mereka sumber dari semua ini, dan berujung sia-sia karena tidak ada yang mengaku.

Baca juga: Malam Berdarah Utsman: Menunggu Ajakan Rasulullah di Tengah Pemberontakan

Para pembantu, babysitter, sopir, dan tukang kebun menjadi tersangka utama sebagai penyebab utama bau busuk ini. Para penuding antara lain adalah Kakek-Nenek, Kakak-Adik, dan Ibu yang beranggapan bau busuk ini muncul karena latar belakang mereka yang orang miskin.

Pembantu, babysitter, dan tukang kebun hanya diam dan takut pada orang-orang kaya juragannya itu. “Kemiskinan tidak bisa menimbulkan bau busuk.

Bau busuk bisa saja disebabkan oleh hal di luar kita semua” ucap Sang Sopir lirih sembari takut gajinya dipangkas. Sementara satu-satunya anggota rumah yang tidak ikut diskusi, Sang Bayi, tertidur pulas di kamarnya.

Sebagai kepala keluarga yang bijak-setidaknya begitulah yang dirasakannya, Ayah memutuskan untuk mengira-ngira bersama-sama penyebab bau busuk ini dan menemukan solusinya.

Sampailah pada kesimpulan pertama bahwa bau busuk ini mungkin muncul dari kebersihan yang kurang dijaga. Maka sejak saat itu, Ayah membuat peraturan baru yang wajib diamini oleh semua orang.

Di antaranya adalah wajib mandi sebanyak tiga kali sehari, mengadakan denda bagi yang buang sampah sembarang, memperbanyak tong sampah, meng- hire tukang kebersihan tambahan. Dan yang tak kalah penting, memasang papan bertuliskan an-nadhafatu minal iman, kebersihan sebagian dari iman, dengan tambahan foto dirinya mengenakan jas dan songkok berwarna hitam khas pejabat negara.

Baca juga: Burdah dan Kemustajaban Dibalik Bait-baitnya

Namun semua itu masih berujung sia-sia. Bau busuk yang menjadi musuh utama bukannya berkurang malah berlipat ganda. Busuknya bertambah busuk. Sampai-sampai seisi rumah terpaksa menggunakan masker untuk menangkis bau itu. Stok masker pun diperbanyak. Seisi rumah mendesak Ayah untuk segera mengadakan diskusi akbar yang kedua.

Menanggapi desakan terus-menerus dari rakyatnya, diskusi akbar yang kedua akhirnya diselenggarakan. Kali ini, atas usul Sang Ibu, seisi rumah akan diperiksa oleh dokter. Siapa tahu bau busuk ini berasal dari penyakit yang tidak kita sadari. Semua setuju-setuju saja. Namun Nenek menambahkan agar yang memeriksa jangan dokter puskesmas, dan merekomendasikan dokter spesialis kota yang kondang saja.

Pemeriksaan pun diadakan esok harinya. Tak tanggung-tanggung, dokter yang dipanggil adalah dokter yang tidak hanya terverifikasi ijazah atau jam terbangnya, melainkan terverifikasi akun instagram-nya juga. Setelah semua diperiksa, dengan senyuman khas dokter pada umumnya Sang Dokter berkata bahwa semua anggota rumah ini sehat wal afiat. Setelah menyelesaikan urusan duit, Dokter berpamit pulang.

Bertambahlah keblingsatan dalam rumah itu. Semua larut dalam kekhawatiran yang semakin dipendam semakin nampak. Satu-satunya yang bisa tertawa lepas saat itu hanyalah Sang Bayi.

Diskusi akbar ketiga langsung diadakan setelahnya. Sang Kakak merekomendasikan untuk memanggil orang pintar saja. Ibu bertanya apakah yang dimaksud anaknya adalah dukun? “Apa saja sebutannya tidak penting. Bisa Ki, bisa Eyang, bisa Kiai, bisa Gus, asal dia orang pintar”. Adapun pintar yang dimaksud di sini adalah pintar seputar hal-hal gaib.

Baca juga: Wali Perempuan dari Tanah Jawa: Kisah Heroik Nyi Ageng Serang

Siapa tahu sebenarnya bau busuk ini berasal dari jin yang menempel di suatu tempat. Semua setuju-setuju saja. Namun kali ini Kakek menambahkan agar orang pintar yang diundang jangan orang yang terkenal di sosial media, dan merekomendasikan seorang dukun atau Kiai atau Gus atau Eyang kenalannya yang rumahnya berada jauh dari jamahan manusia.

Sang Dukun atau Kiai atau Gus atau Eyang itu pun datang esok harinya. Besarnya sorban di kepalanya seakan berkata betapa saktinya dia. Juntaian jubahnya menunjukkan betapa mulianya dia. Kalung tasbih dengan ukuran jumbo juga ikut mendukung hawa mistis pada dirinya.

Dengan raut khas dukun, Sang Dukun atau Kiai atau Gus atau Eyang itu berkata bahwa rumah ini aman dan tidak ada pengganggu sama sekali. Hanya saja, ada satu jin baik yang bersemayam di sebuah ruangan kecil rumah itu. Seisi rumah mengetahui bahwa ruangan yang ditunjuk oleh Sang Dukun atau Kiai atau Gus atau Eyang itu adalah musala rumah yang jarang terpakai.

Dengan yakin, Ayah menyuruh untuk mengusir jin baik itu.

“Tapi dia baik. Dia tidak mengganggu. Kerjanya hanya beribadah dan membaca Al-Quran. Apakah Anda yakin?”
“Ini adalah rumahku. Hakku untuk mengusirnya”

Sang Dukun atau Kiai atau Gus atau Eyang itu masuk Musala dan berbicara kepada Jin baik.

“Hei Bung, Jin ini berkata bahwa ini adalah Bumi Allah. Bagaimana jawabanmu?”
“Katakan padanya: Silakan cari Bumi Allah yang lain, jangan di rumahku!”

Baca juga: Ali bin Abi Thalib: Jejak Kecerdasan Sang Pintu Ilmu

Sekian menit berlalu, Sang Dukun keluar dengan seutas senyum. Karena Jin tersebut mempunyai akhlak yang mulia, dan enggan mengganggu makhluk tuhan lain, Dia pergi. Seisi rumah menyambut kabar itu dengan tawa bahagia dan merasa berhasil membuang sumber utama bau busuk rumah itu.

Setelah urusan duit selesai, Sang Dukun atau Kiai atau Gus atau Eyang itu pulang. Hari sudah larut malam, semua tidur karena penat seharian berurusan dengan bau busuk itu. Tapi tidak dengan Sang Bayi. Ia menangis tiada henti sehingga babysitter terpaksa begadang semalaman.

Esok hari tiba, namun seperti yang sudah-sudah, bau busuk itu tetap ada. Namun bedanya, bau busuk kali ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Memakai masker rangkap tiga pun tiada guna. Bau itu terus saja menyiksa seisi rumah.

Semua putus asa. Diskusi akbar keempat diadakan. Namun jangankan usulan atau sepatah kata, untuk bernafas saja semua kesusahan. Rumah besar itu terlalu pengap karena bau busuk. Keringat penghuni rumah itu lebih deras dari hujan. Jadilah diskusi itu sunyi, penuh diam dan usaha untuk sekedar bernafas. Sementara Sang Bayi tertawa-tawa di dalam kamar.

Ayah menengadahkan kedua tangannya, berdoa pada tuhan: “Oh Tuhan, berilah hamba-Mu ini petunjuk”

Seisi rumah ikut menengadahkan kedua tangannya dan mengamini doa Ayah.

Baca juga: Srikandi Hijrah: Kisah Inspiratif Asma’ binti Abu Bakar

Tak lama kemudian, Tuhan berbelas kasih. Dibukalah hijab yang menutup penglihatan mereka selama ini. Tampaklah perut satu sama lain mereka dipenuhi oleh bangkai-bangkai manusia lain.

Mulai dari teman, sahabat, orang tua, bahkan guru. Histeria masal tak bisa dihindarkan, tangis mereka pecah. Muntah berceceran di lantai-lantai lantaran saling jijik satu sama lain. Semua panik, kecuali Sang Bayi yang alih-alih perutnya berisi bangkai, tapi justru berisi bubur merah dan biskuit Regal.

Tiba-tiba saja dari radio usang milik Kakek terputar lagu dari Grup Qasidah El-Hawa:

Menggunjing itu sarang dosa~

Sang Bayi tertawa menyadari bahwa seisi rumah lebih gemar memakan bangkai orang lain daripada biskuit Regal.

(Krapyak, Oktober 2022)
Abdillah Danny Darmawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *