[Cerpen] Hutan yang Hilang, Harapan yang Kembali

Cerpen Sastra

Annubala ID – Dataran tinggi itu menyambut sejuknya malam, sayup-sayup mentari menghantarkan kelembutan pagi, bunyi sunyi menyaring di setiap lorong-lorong bukit. Di sanalah pemukiman warga dengan mata pencaharian perdagangan.

Mereka hidup dengan memanfaatkan lingkungan alam yang ada, walaupun lingkungan tersebut terorganisir dengan baik namun beberapa oknum masih memanfaatkan lokasi yang mereka tentukan. Pemukiman tersebut kondang disebut dengan Paniis, sebutan nama yang diserap dari kondisi desa tersebut sebab temperatur udaranya cukup tinggi.

Badrul adalah salah satu warga desa tersebut. Ia merupakan lulusan sekolah menengah di yayasan Al-Hafidz yang terletak jauh di luar desanya. Badrul hidup berlatar belakang kepesantrenan dan dikenal sebagai orang yang kritis dalam segala hal yang diketahuinya.

Baca juga: Santri Milenial: Menjaga Tradisi di Era Digital

Konon katanya, semasa di pesantren, ia pernah berdebat sengit dengan pengasuhnya yang dipertontonkan di hadapan santri-santri. Akan tetapi, itu pun tidak mengurangi rasa ta’dzimnya kepada pengasuh.

Syahdan, setelah ia lulus dengan predikat yang memuaskan, ia berencana untuk tinggal di kampung halaman yang notabenenya masih berada di tengah-tengah hutan.

Rasa senang yang menyelimuti Badrul atas kepulangannya tak terbendung. Ia tak sabar ingin melihat hutan setelah sekian lama, yang tak jauh dari lokasi rumahnya. Hutan yang kaya akan flora dan fauna, suasana dan udara yang sejuk, serta pemandangan yang menakjubkan.

Namun, mirisnya, mimpi indah itu kini hanya kenangan belaka. Badrul harus menerima realita yang menimpa hutan di desanya. Kini, dalam radius 100 meter dari rumahnya, telah menjulang tinggi cerobong asap yang menghembuskan kepulan asap di udara jernih itu.

Puluhan hektar pepohonan gundul semakin merambat luas ke permukaan dataran tinggi, hewan-hewan langka kini meratapi nasibnya di depan jeruji besi. Kenyataan pahit yang dirasakan Badrul menumbuhkan rasa prihatin yang mendalam terhadap alam yang ia cintai, yang kini sirna oleh berbagai lahan industri.

Badrul berdiri di depan hutan yang kini berubah menjadi lahan gersang. Wajahnya terlihat serius, meski sedikit lelah. Zain, teman lamanya dari komunitas Cinta Alam, menyampinginya, mengikuti pandangan Badrul.

Baca juga: Manunggaling Kawula Gusti: Sudahkah Kita Menyatu sebagai Kawula-Nya?

Zain: “Badrul, kita tak bisa hanya diam. Hutan ini adalah bagian dari identitas kita. Mereka akan terus menggunduli tanah ini, kalau kita tidak bertindak.”
Badrul: “Aku tahu, Zain… Tapi ini bukan masalah mudah. Tidak hanya soal menjaga alam, tapi juga soal mereka yang sudah terlibat dalam bisnis ini. Apa mereka punya niat untuk melestarikan atau hanya mencari untung semata?”
Addin, yang tak jauh dari mereka, mendekat dengan wajah penuh tekad. Ayahnya yang bekerja di BKSDA telah mengajarkannya banyak hal tentang konservasi dan pelestarian alam.
Addin: “Badrul, yang kita hadapi bukan hanya mereka yang menggunduli hutan. Ada juga yang memanfaatkan status konservasi untuk kepentingan pribadi. Jika kita ingin melindungi hutan ini, kita perlu data yang jelas. Kita harus tahu siapa yang ada di balik semua ini.”
Zain: “Aku setuju dengan Addin. Kita harus bergerak bersama, tetapi kita juga harus berhati-hati. Pemerintah mungkin akan membantu, tetapi jika mereka tidak tahu apa yang terjadi di sini, mereka tidak akan bisa menindak dengan benar.”
Badrul mengangguk perlahan. Ia teringat kenangan masa kecilnya yang sering memberi makan orangutan di hutan itu secara diam-diam. Orangutan-orangutan itu kini hanya bisa meratapi nasib mereka di balik jeruji besi, menunggu nasib yang lebih baik.
Badrul: “Dulu, aku sering memberi makan orangutan itu… Mereka adalah bagian dari hidupku, bagian dari hutan ini. Sekarang mereka… terkurung. Dulu aku berpikir alam akan selalu ada, tapi kini aku tahu, hanya dengan berjuang kita bisa melindunginya.”
Addin: “Jangan khawatir, Badrul. Kami di sini untuk membantumu. Kita akan bawa ini ke pihak yang tepat, dokumentasikan semuanya. Semua yang terjadi di sini tidak boleh dibiarkan begitu saja.”
Zain: “Ya, dan kita akan gunakan media untuk menyuarakan ini. Suara kita bisa menggema, dan semoga ini bisa membuka mata lebih banyak orang.”
Badrul menatap mereka berdua, rasa syukur dan harapan muncul di dalam hatinya. Meskipun tantangannya besar, ia tahu bahwa dengan teman-temannya, mereka bisa menghadapi apa pun.
Badrul: “Terima kasih, kalian. Tanpa kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Mari kita mulai dari sini, kita akan buat perubahan.”

Baca juga: Santri 5.0: Antara Kitab Kuning dan Dunia Digital

Ketiganya mulai merencanakan langkah-langkah yang perlu diambil untuk menyelamatkan hutan. Mereka mulai mengumpulkan data terkait deforestasi yang terjadi, dengan harapan dapat menyampaikan informasi ini kepada pihak yang berwenang.

Namun, semakin mereka menggali, semakin jelas bahwa masalah yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Banyak perusahaan yang terlibat dalam pembukaan lahan, dan beberapa bahkan memiliki hubungan dekat dengan pejabat lokal yang bisa menghalangi upaya mereka.

Zain: “Ini lebih besar dari yang kita duga, Badrul. Jika kita ingin menang, kita harus lebih dari sekadar berbicara. Kita perlu bukti konkret, dan kita harus menggerakkan lebih banyak orang untuk ikut peduli.”
Addin: “Betul. Aku akan bantu menghubungi beberapa teman ayah yang ada di BKSDA. Mungkin mereka bisa membantu kami mendapatkan akses untuk memeriksa lebih banyak lokasi.”
Badrul: “Dan aku akan mulai mengumpulkan data dari masyarakat sekitar. Mereka yang tinggal di sini lebih tahu bagaimana perubahan yang terjadi dari tahun ke tahun. Kita butuh suara mereka.”

Baca juga: Diam Tak Selalu Berarti Marah: Sebuah Bahasa yang Tak Tersuarakan

Mereka pun memulai perjuangan mereka, dengan tekad yang bulat dan semangat yang tak mudah pudar. Mereka tahu, perjuangan ini bukanlah perjalanan yang mudah, namun jika mereka bersatu, mereka percaya bahwa perubahan mungkin bisa tercapai.

Hari demi hari mereka habiskan untuk mengumpulkan bukti-bukti dan mendokumentasikan kerusakan yang terjadi. Mereka menyusuri hutan yang dulu subur, yang kini hanya menyisakan tanah tandus dan pohon-pohon yang tinggal batangnya. Setiap langkah mereka semakin meyakinkan Badrul bahwa inilah panggilan hidupnya—untuk melawan ketidakadilan terhadap alam dan satwa yang hampir punah.

Zain: “Badrul, lihat. Bukti-bukti ini bisa kita bawa ke pengadilan. Ini adalah masalah besar yang harus diselesaikan.”
Badrul: “Benar, kita harus berjuang agar hutan ini bisa kembali seperti dulu. Hutan ini adalah rumah bagi kita semua.”

Dengan semangat juang yang tak pernah padam, Badrul, Zain, dan Addin akhirnya berhasil membawa perhatian publik dan pemerintah terhadap kerusakan yang terjadi. Melalui kerja keras mereka, akhirnya pemerintah setempat mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pembukaan lahan secara ilegal dan memulai proyek rehabilitasi hutan.

Hutan Paniis yang dulu terancam punah kini mulai pulih, dengan keberadaan orangutan dan satwa langka lainnya yang kembali meramaikan hutan. Perjuangan mereka menjadi inspirasi bagi banyak orang di seluruh dunia untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan melestarikan alam yang tersisa.

Baca juga: Menikmati Proses, Mengurangi Protes: Seni Bertumbuh dengan Bijak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *