Annubala ID – Seorang gadis kecil terlihat berjalan dengan riang. Rambutnya yang dikuncir bergerak tak beraturan. Gadis kecil itu menggendong ransel biru yang tampak lebih besar dari punggungnya sendiri. Malam nanti adalah malam yang telah lama ia nantikan. Ayah akan membawanya bermain ke sebuah pasar malam di kota. Ia sangat bersemangat mengingat hal itu dan rasa lelah yang selalu dirasakannya tergantikan oleh semangat membara. Berharap siang melaju cepat dan malam datang bertandang.
Ayahnya pulang tatkala langit mulai gelap. Ia itu sangat gembira menyambut kedatangan si ayah. Wajah lelah ayahnya tergantikan dengan sebuah senyuman yang manis disertai pelukan erat. Ia kemudian membersihkan diri dan bersiap-siap untuk malam ini menuju pasar malam kota.
Mereka berangkat menggunakan kendaraan umum. Wajah lelah di antara keduanya dilipur oleh senyum. Lima belas menit duduk di dalam kendaraan umum yang sesak, kemudian menginjakkan kaki di tempat tujuan: pasar malam. Ia menatap takjub berbagai permainan dan wahana di hadapannya. Wangi jagung bakar mengganggu perut kecilnya yang sebelumnya kekenyangan. Setelah makan, ayahnya mengajak ia untuk mencoba berbagai permainan.
Baca juga: Say Yes to Istiqomah: Konsistensi dalam Iman dan Amal
Setelah puas bermain lempar gelang, menaiki komedi putar yang mengasyikkan, dan melihat pemandangan kota yang indah di malam hari melalui kaca jendela, mereka pulang membawa kembang gula yang lezat. Wajahnya masih cerah hingga setengah perjalanan menuju rumah. Semenit setelah itu tubuhnya yang kecil tidak sanggup menahan rasa lelah. Gadis kecil itu memegangi perutnya disertai mual. Kembang gula yang melekat di tangannya terlepas ke atas aspal yang dingin.
Ia sudah tidak dapat menahannya. Tanpa ada yang menyuruh ia memuntahkan seluruh isi perutnya. Wajahnya berubah pucat pasi, ayahnya yang terkejut segera menggendong dengan sigap. Berlari menuju rumah sakit terdekat. Tetapi, ia sudah tidak sanggup. Perlahan kesadarannya menghilang. Wajahnya yang pucat tersenyum lemah menatap si ayah. Matanya menutup, ia terpejam di dalam pelukan ayahnya yang kokoh.
***
Sayup-sayup terdengar suara dari kejauhan. Suara yang selalu kudengar dari masjid sebelah rumah ketika fajar tiba. Suara panggilan Tuhan itu menarikku dari kegelapan. Membangunkanku dari mimpi buruk yang menegangkan. Aku terbangun di dalam ruangan yang asing. Napasku tersengal. Mimpi tadi sangat mengerikan. Melihat seseorang membunuh orang yang kita sayangi dengan sangat ganas tentu sangat mengerikan untuk disaksikan.
Terlepas dari mimpi buruk tadi, aku baru sadar bahwa kamar ini bukan kamar tempatku selalu menghabiskan waktu di malam hari. Bukan tempat ayah biasanya membacakan dongeng sebelum tidur. Aku baru menyadari bahwa ayah tidak ada di ruangan ini. Dimana ayah? Ada sesuatu yang tertancap di lenganku saat hendak turun dari ranjang. Sesuatu itu tersambung pada sebuah benda yang terlihat seperti selang dan berujung pada sebuah kantung berisi cairan yang tergantung di sebelah ranjang. Aku ingat pernah melihat ini sebelumnya. Benar. Aku melihat benda ini pada saat ibu sakit.
Baca juga: Ketika Cetakan Keliru: Menyingkap Kesalahan Harakat dalam Kitab Barzanji
Aku segera pergi keluar kamar, lalu disambut gelap. Aku berjalan menyusuri lorong sebelah kiri, sangat sepi. Aku hendak menangis hingga terdengar seseorang memanggilku dari kejauhan. Ayah terlihat berlari ke arahku. Aku tidak pernah berpikir bahwa melihat ayah bisa terasa sangat menenangkan. Titik bening jatuh membasahi pipiku begitu ayah tiba di hadapanku. Ayah memelukku erat, bahunya bergetar.
“Terima kasih, Elia. Terima kasih telah bangun dari tidurmu yang panjang” ayah masih memelukku erat. Ia menggendongku kembali ke kamar, membaringkanku di atas ranjang. Ayah menatap mataku lembut.
“Maafkan ayah, Elia. Ayah seharusnya lebih memperhatikanmu, ayah seharusnya sadar kalau selama ini kau kesakitan” ayah menundukkan wajahnya. Titik bening mengalir hingga sampai di pipi.
“Ini bukan salah ayah. Elia juga minta maaf karena selama ini tidak cerita kalau perut Elia sering sakit. Elia juga tidak pernah cerita kepada ayah jika sering merasa lelah. Elia takut membebani ayah yang sudah lelah bekerja di pabrik seharian. Elia bahkan sudah membebani ayah dengan mengompol beberapa hari terakhir.” titik bening yang tadinya menghilang kini mengalir deras di pipiku.
Ini semua sungguh bukan salah ayah. Ayah selalu perhatian padaku. Walaupun ayah lelah setelah bekerja seharian, ayah selalu menemaniku hingga aku jatuh tertidur. Ayah selalu memasakkan sarapan dan mengantarku sekolah walaupun pabrik tempat ayah bekerja berlawanan arah.
Baca juga: Potret Al-Qari’ Al-Alim Masa Kini: Refleksi dari Prof. Said Agil Husin Al-Munawwar
“Elia, ada sesuatu yang harus ayah katakan dan Elia harus tegar mendengar berita ini” wajah ayah terlihat serius. Kmenghapus air mata, mulai mendengarkan ayah dengan khusyuk.
“Elia mengidap diabetes tipe 1. Kondisi autoimun menyerang pankreas sehingga pankreas Elia tidak bisa menghasilkan cukup insulin untuk tubuh Elia. Mulai hari ini Elia harus melakukan terapi dan pengobatan lainnya, nak” mata ayah berkaca-kaca.
Aku hanya terdiam. Mencerna semua hal yang ayah katakan. Aku yakin ini adalah berita mengejutkan bagi siapapun yang mendapatkannya. Aku tidak tahu penyakit diabetes dapat menyerang anak-anak berusia sepuluh tahun sepertiku. Aku hanya bisa tersenyum pasrah. Menguatkan ayah bahwa aku akan bertahan dan menjalani semua hal dengan tegar.
Sejak saat itu, hari-hariku berubah. Aku harus mengonsumsi beberapa obat untuk mencegah komplikasi. Jarum suntik adalah sahabatku sehari-hari. Rumah sakit sudah menjadi rumah kedua bagiku. Lalu Semua berjalan selama beberapa bulan hingga suatu hari, ketika pulang dari sekolah menuju rumah sakit untuk pemeriksaan gula darah, kepalaku terasa sangat pusing. Semua hal di hadapanku terlihat berputar-putar. Jantungku berdebar kencang. Tubuhku yang lemas jatuh ke atas trotoar. Kesadaranku mulai menghilang ketika ayah menggendongku ke rumah sakit.
Baca juga: Prof. Quraish Shihab: Memahami Makna dan Praktik Wasathiyah dalam Konteks Kontemporer
Hipoglikemia. Dokter mengatakan bahwa aku menderita hipoglikemia sehingga kadar gula darah dalam tubuhku sangat rendah. Pemberian gula sudah dilakukan beberapa kali, tetapi tetap tidak ada perubahan. Aku terbaring lemas di atas ranjang. Hal ini berlangsung hingga beberapa hari. Produksi insulin yang menurun dan kadar gula darah yang tetap rendah membuat dokter menyarankanku untuk melakukan transplantasi pankreas. Aku sangat terkejut, dunia semakin berputar di hadapanku. Apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku? Mengapa ini harus terjadi padaku?
Ayah memeluk erat. Ia berjanji akan selalu mendampingiku. Ia menyetujui operasi transplantasi pankreas mengingat kondisiku yang tak kunjung membaik. Aku menjalani berbagai rangkaian tes dan pemeriksaan untuk persiapan transplantasi. Akan tetapi, kabar buruk datang, belum ada donor pankreas yang tersedia untukku. Aku mungkin harus menunggu beberapa bulan hingga mendapatkan pendonor yang tepat.
Hari-hariku kini semakin suram. Kondisi tubuhku masih lemah dan tak terlihat akan membaik. Beberapa hari ini ayah juga sering menghilang dalam waktu beberapa jam. Aku berpikir bahwa ayah pasti bekerja lebih keras untuk biaya pengobatanku selama ini. Ayah selalu ceria di hadapanku. Mencoba menghiburku yang sering menangis. Wajah lelahnya terlihat ketika ia pulas tertidur.
Keesokan harinya ayah pergi sejak dini hari. Hanya suster yang menemani dan membantuku menjalani hari. Dokter datang ke kamarku pada pagi hari. Menyuruhku untuk bersiap melakukan operasi transplantasi di siang hari karena sudah mendapat donor pankreas. Aku ingin mendengar kabar gembira ini bersama ayah, tetapi ia tetap tidak terlihat. Ayah datang satu jam sebelum aku masuk ke ruang operasi. Aku menangis dan marah memberi tahu ayah kabar gembira ini. Marah karena ia datang terlambat. Ayah hanya meminta maaf karena ada pekerjaan penting yang begitu mendadak. Ayah menemaniku menuju ruang operasi dan menunggu di balik pintu. Aku menatap pintu ruang operasi sampai kesadaran menghilang. Gelap.
Baca juga: Ulama Melek Politik: Kiprah KH. Atabik Ali dalam Dunia Pendidikan dan Kebangsaan
Setelah proses operasi selama kurang lebih lima jam, tubuhku dipindahkan ke ruang ICU. Ayah menemani hingga aku membuka mata. Ia tersenyum lembut padaku. Mengatakan bahwa aku adalah anak yang kuat. Aku dirawat di ruang ICU selama dua hari hingga kemudian dipindahkan ke kamar inap sebelumnya. Aku mengalami beberapa efek samping setelah operasi seperti demam dan mual. Setelah beberapa hari menjalani proses pemulihan, tubuhku mulai membaik. Aku tetap harus mengonsumsi berbagai macam obat dan pengawasan ketat. Aku diperbolehkan menjalani rawat jalan setelah menjalani berbagai tes dan pemeriksaan.
Hari-hariku mulai berjalan normal hingga aku menemukan sesuatu yang ganjal. Ada bekas luka jahitan pada perut ayah. Aku memeriksa kamar ayah ketika ayah sedang bekerja. Mencari surat rumah sakit mengenai pendonor pankreasku. Ayah tidak pernah memberi tahuku tentang orang yang menjadi pendonor pankreasku. Kupikir bahwa orang itu adalah orang baik yang tidak ingin orang lain mengetahui ia telah berbuat hal itu. Aku tidak menemukan surat itu hingga tanganku tak sengaja merasakan sesuatu di balik sarung bantal ayah. Aku menemukannya, ia pasti memiliki alasan menyembunyikan surat itu di dalam sarung bantal.
Aku membuka surat itu perlahan. Mulai membacanya dengan hati-hati. Deg. Dadaku berdebar kencang. Titik bening berjatuhan membasahi pipi. Ayah berbohong padaku selama ini. Ayah tidak datang terlambat karena pekerjaan pada hari itu, ia berbohong. Ia terlambat karena menjalani operasi donor pankreas di pagi hari. Orang baik yang mendonorkan pankreasnya adalah ayah. Air mataku mengalir deras.
Ia pulang ketika matahari tepat berada di atas kepala. Aku memeluk ayah begitu ia membuka pintu. Meminta maaf. Memohon ampun karena belum bisa menjadi anak yang baik. Sekaligus berterima kasih atas segala pengorbanannya. Tangannya yang kasar menghapus air mataku dan diiringi senyum lembut. Senyum yang selalu meniupkan ketenangan.
“Elia cinta ayah, dari satu masa ke masa yang tak terhingga.”
Ditulis oleh: Hanifa Shabrina Alhadi
Baca juga: Burdah dan Kemustajaban Dibalik Bait-baitnya
