Annubala ID – Burdah yang amat kondang dalam dunia intelektual Islam bisa dipahami menjadi dua objek; Pertama, bila yang dimaksud Burdah itu berupa syair-syair sanjungan kepada Nabi Muhammad Saw, maka akan dipahami kepada kedua sosok legendaris, yakni Sahabat Ka’b bin Zuhair bin Abi Sulma (w. 622 M) dan Syarafuddin Muhammad bin Sa’id bin Hammad Al-Bushiri (w. 1295 M).
Sebagaimana kisah yang populer dalam sejarah Islam, Ka’b bin Zuhair mulanya adalah penyair kondang yang selalu aktif memaki dan mencaci Nabi Muhammad Saw. dengan deretan syair yang digubahnya. Setelah ia memeluk Islam, Ka’b menggubah syair berjudul Banat Su’ad sebagai bukti penyesalannya atas tindakan dirinya yang mencaci Nabi sebelum ia masuk Islam.
Pujian, sanjungan dan penghormatan yang ia dendangkan kepada Rasulullah dengan gubahan syairnya, membuat Nabi turut senang dan menghadiahkan Burdah (jubah bergaris) yang biasa beliau pakai sehari-hari kepada Ka’b bin Zuhair. Secara kebetulan, Muhammad bin Sa’id atau yang dikenal dengan Imam Al-Bushiri mengalami peristiwa sama yang dialami Ka’b bin Zuhair, yakni Nabi “menghadiahkan” Burdah-nya kepada Al-Bushiri.
Bermula disaat Imam Al-Bushiri pernah menderita lumpuh, tidak mampu berjalan. Hari demi harinya ia lalui dengan terbaring di atas tempat tidur. Penderitaan ini cukup lama dialaminya. Berbagai upaya pengobatan untuk menyembuhkan lumpuhnya telah ia lakukan, namun tidak membawa hasil. Akhirnya hingga suatu saat terlintas dalam hati Imam Al-Bushiri untuk menggubah syair yang berisi pujian kepada Nabi Muhammad Saw.
Baca juga: Jangan Remehkan Basmalah dan Hamdalah! Ini Keutamaan Dahsyatnya
Dengan basic yang telah dikuasai Imam Al-Bushiri dalam bidang sastra Arab, sejarah dan kaligrafi, membuat gubahan-gubahan yang ia tuangkan terasa ringan, meski kondisi tubuh yang lemah, ia tetap berusaha untuk menyelesaikan karyanya. Hal ini dilakukan sebab jika menggubah syair untuk para penguasa atau tokoh masyarakat saja ia mendapatkan imbalan materi, bagaimana menggubah syair untuk Nabi? Begitulah yang ada dalam pikiran Imam Al-Bushiri.
Kedua tokoh di atas, Ka’b bin Zuhair maupun Imam Al-Bushiri memiliki persamaan, yaitu sama-sama sebagai penyair, juga keduanya menggubah syair untuk memuji dan menghormati Nabi, kemudian Nabi “menghadiahkan” Burdah-nya kepada mereka berdua. Namun, kedua tokoh ini hidup dalam zaman yang berbeda; Ka’b bin Zuhair hidup pada abad ke-7 M, sementara Imam Al-Bushiri hidup pada abad ke-13 M.
Ada sedikit perbedaan perihal Nabi memberikan hadiah kepada kedua tokoh ini, Ka’b mendapatkan Burdah-nya secara langsung, sedang Imam Al-Bushiri mendapatkan Burdah-nya hanya melalui mimpi. Dan inilah yang menjadi objek kedua yang dijelaskan di awal tulisan. Yakni, jika yang dimaksud Burdah itu berupa benda dalam arti “jubah bergaris”, maka Burdah yang dimaksud adalah Burdah Nabi yang diberikan kepada Ka’b bin Zuhair.
Tradisi memakai Burdah dalam acara kenegaraan turut diikuti oleh para khalifah berikutnya dari Dinasti Umayyah. Hingga akhirnya Dinasti Umayyah yang beribukota di Damaskus (Suriah) runtuh pada tahun 750 M, lalu diteruskan oleh Dinasti Abbasiyyah yang beribukota di Baghdad (Irak). Dan Burdah peninggalan Nabi sempat lepas dari tangan keluarga Umayyah.
Baca juga: Tafsir Surat Al-Fath Ayat 29: Menyoal Nabi Bersikap Keras Kepada Non-Islam
Tidak diketahui secara pasti dari siapa Burdah tersebut didapatkan khalifah kedua dari Dinasti Abbasiyyah, yaitu Abu Ja’far Al-Manshur. Yang jelas, khalifah Al-Manshur membelinya seharga 40.000 dirham (kisaran 152 juta rupiah untuk harga saat ini). Akhirnya, Burdah itu kembali menjadi baju kebesaran yang digunakan oleh para khalifah dalam acara kenegaraan.
Tradisi tersebut terus berlanjut sepeninggalnya khalifah Al-Manshur, hingga pada akhirnya Dinasti Abbasiyyah runtuh oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M. Burdah itu pun raib dan dinyatakan hilang bersama buku-buku yang terbakar. Namun, ada sebuah sumber yang berpendapat—sebagaimana disebutkan Muhammad Adib— Burdah peninggalan Nabi ini berhasil diselamatkan.
Bahkan, Burdah itu sampai berpindah tangan kepada para khalifah dari Dinasti Utsmani (Ottoman Empire) yang beribukota di Istambul (Turki). Kembali Burdah tersebut dikenakan pada acara resmi kenegaraan. Pada tahun 1922 M, Dinasti Utsmani runtuh, lalu berdiri Republik Turki yang beribukota di Ankara. Lalu kondisi Burdah peninggal Nabi itu sekarang tersimpan di Museum Topkapi di Istambul, Turki. Demikianlah nasib Burdah peninggalan Nabi, selama hampir 15 abad.
“Sebenarnya selain Burdah peninggalan Nabi, di Museum yang berdekatan dengan Hagia Sophia ini, dapat ditemukan pula beberapa benda berharga lainnya dari peninggalan masa Nabi Muhammad Saw.”
Referensi:
M. Solahuddin, Tapak Sejarah Kitab Kuning (Kediri: Zam-Zam, 2014).
