Annubala ID Salah satu khazanah keilmuan lokal di Indonesia yang kurang perhatian oleh khalayak umum adalah karya-karya Ulama Nusantara. Meskipun para Filolog dan masyarakat tertentu menaruh perhatian dalam melestarikan manuskrip karya ulama setempat. Namun tetap saja beberapa informasi akan eksistensi karya-karya tersebut masih terbilang kurang terekspos.
Di sini, penulis menemukan sebuah kitab yang telah terkodifikasi dalam bentuk tulisan tangan berisi pembahasan fiqhiyyah yang fokus pada bab Najis.
Nama kitab yang dimaksud adalah Al-Risalah Al-Nafisah fi Bayan Al-Najasah (naskah kecil yang indah dalam menjelaskan masalah najis). Kitab cetakan Al-Tanwir asal Cianjur ini disusun oleh ulama lokal yang berkediaman di desa Cipeundeuy, Bojong, Purwakarta, beliau adalah K.H Abdurrohim.
Biografi Singkat K.H Abdurrohim
Nama lengkap beliau dari jalur Ayah adalah Abdurrohim bin Tarmidzi bin Murtami. Adapun dari jalur Ibu adalah Abdurrohim bin Ruqayah binti Janawi bin Nathifah binti Khatib Tua.
Sebenarnya Ahim kecil (sapaan akrab Abdurrohim) berkelahiran Majalengka, tepatnya di desa Mirat (dalam beberapa tulisannya, beliau sering menulis nama dirinya dengan menisbatkan kata Al-Mirati setelah namanya atau menunjukkan beliau berasal dari Mirat), kecamatan Leuwimunding, kabupaten Majalengka.
Beliau dilahirkan di desa Mirat Majalengka pada tahun 1917 M. Sejak kecil sampai beranjak dewasa, Abdurrohim memiliki jiwa semangat dalam mencari ilmu, beliau lakukan dari daerah ke daerah lain.
Suatu contoh, di daerahnya sendiri Dukuhasih Mirat, beliau berguru dengan K.H Anshor bin Muthohir. Kemudian dilanjutkan dibeberapa pesantren Jawa Barat, seperti di pondok Kempek Cirebon berguru dengan K.H Umar Sholeh, pondok di Kadipaten. Hingga pendidikan terkahir beliau di pondok Sempur Purwakarta yang diasuh oleh Tb. Ahmad Bakri.
Kemudian beliau menikah dengan Nyai Aminah dan bertolak ke desa Cipendeuy Purwakarta. Di sanalah beliau tinggal dan menjadi bagian masyarakat, tak lama kemudian beliau membangun pondok pesantren An-Nur. Beliau meninggal pada tanggal 10 Oktober 1993 dan dimakamkan di desa Ciparay Majalengka.
Mengenal Kitab Al-Risalah Al-Nafisah
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal tulisan, kitab ini mengajarkan kepada kita tentang persoalan najis yang senantiasa menjadi momok obrolan di masyarakat umumnya. Sebab bagaimanapun juga, perihal najis selalu berdampingan dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karenanya, persoalan najis meskipun telah dipelajari tetap saja dalam hal-hal tertentu sebagian masyarakat kerap mempertanyakan perkara suci dan najis.
Kitab Al-Risalah Al-Nafisah ini merupakan sedikit jawaban atas keresahan-keresahan yang terjadi di kalangan masyarakat. Pembahasan yang dibalut dalam bentuk puisi (nadzam) sunda ini memang diperuntukkan khusus kalangan warga setempat yang mayoritas bumi sunda. Tak ayal, tulisan dalam karangan-karangannya pun mengikuti budaya bahasa lokal yang ada.
Kitab setebal 29 halaman ini, berjumlah 340 butir nadzam (termasuk di dalamnya ada 3 fasal). 20 butir untuk muqaddimah kitab. 16 butir untuk fasal pertama. 304 butir untuk fasal kedua, dan untuk fasal ketiga nampaknya Muallif belum sempat menyelesaikan pembahasan nadzam dalam fasal tersebut.
Sebab di fasal tersebut terdapat keterangan kata penutup dari Muallif bahwa juz pertama ini sudah selesai dan berpindah ke juz dua.
Kata Pengantar Kitab
Sebagaimana dalam karangan kitab umumnya, pada muqaddimah kitab ini, Muallif memulainya dengan basmalah, puji syukur kepada Allah, lalu shalawat kepada Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ Tabi’in. Berikut ini penulis nukilkan nadzam tersebut:
“Ari sadayana puji nu sampurna – Kagungan Allah anu shifat karimna”
(Segala puji yang sempurna – Hanya milik Allah dzat yang Maha Mulia)
“Tur dzat anu netkalana ngajanjian – Ku fadhalna mangka nya terus nyumponan”
(Dan dzat yang bila memberikan janji – Dengan anugerah-Nya, Ia kabulkan)
“Ari rahmat Allah sinareng salamna – Mugi tetep kajeng Nabi nu raufna”
(Rahmat dan keselamatan Allah – Semoga tercurah pada Nabi sang pemberi maaf)
Selanjutnya Muallif memohon kepada Allah agar kitab ini bermanfaat bagi dirinya dan orang yang membaca kitab ini. Sebagaimana Allah telah memberikan manfaat kepada asal kitab ini, yakni karya-karya ulama yang dinukil dalam risalah ini.
Puisi yang berupa bahr wafir ini mengakhiri sajak pengantarnya seraya memohon ampunan kepada Allah untuk kita semua, orang tua, dan umat muslim. Juga semoga kesalahan yang kita perbuat selama ini, Allah gantikan dengan kebaikan-kebaikan yang diridhai-Nya. Amiin.
Fasal Pertama: Menjelaskan Makna Najis
Dalam fasal pertama, Muallif menyinggung pengertian najis dari sisi bahasa dan istilah. Ia menagatakan bahwa najis secara bahasa (terminologi) adalah hal-hal yang dianggap jijik menurut adat meskipun suci secara istilah. Di antara contohnya adalah ingus, ludah, kotoran mata/hidung, riak, dan sebagainya.
Lalu Muallif sedikit memberikan catatan bahwa contoh tadi meski dianggap suci tetap dapat menjadi haram hukumnya. Bila dibuang di dalam masjid, mushola, atau air yang tidak mengalir. Namun tidak dihukumi haram ketika kotoran tersebut menyatu disaat kumur-kumur.
Secara syara’ (etimologi) najis adalah hal-hal yang mampu mencegah keabsahan shalat (mubthilatis-shalah) selama tidak ada kemurahan dari syariat. Apa saja kemurahan syariat itu?
Muallif menyebutkan seperti orang yang tidak menemukan air dan tanah, maka boleh untuk shalat dalam kondisi membawa najis.
Namun wajib mengulang (i’adah) shalatnya ketika sudah menemukan air dan tanah. Kemurahan syariat lainnya adalah najis-najis yang dimaafkan (ma’fu) sebab hal itu tidak membatalkan shalat.
*Sumber Referensi: Hasil wawancara dan olah data penulis pada yang bersangkutan.
Baca juga: Menghapus Tradisi Kasta: Kisah Sahabat Zaid, Zainab, dan Pembaruan Sosial dalam Islam
