Annubala ID – Seorang guru dan murid memiliki ikatan yang luar biasa baik secara dzohir ataupun batin. Keduanya memiliki adab-adab yang perlu digali lebih dalam demi keberhasilan ilmu yang diperoleh sang murid serta kesuksesan seorang guru dalam melimpahkan ilmunya.
Hal inilah, oleh KH. Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim bisa lihat dalam karyanya yaitu kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim. Sebuah kitab yang menggambarkan betapa pentingnya mengetahui adab sebelum seseorang belajar dan mengajar.
Sekilas Potret Pengarang
Nama lengkap Mbah Hasyim adalah Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pengeran Benowo) bin Abdur Rohman (Jaka Tingkir Sultan Hadi Wijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Maulana Ishaq bin ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Sampai sini silsilah Mbah Hasyim dari jalur ayah sampai ke Sunan Giri. Selanjutnya masyhur dari Sunan Giri sampai ke atas akan bertemu nasab Nabi Muhammad Saw.
Mbah Hasyim lahirdi desa Gedang, Jombang pada hari Selasa 24 Dzul Qa’dah 1287 H / 14 Februari 1871 M dan wafat pada 07 Ramadhan 1266 H / 21 Juli 1947 M. Beliau tumbuh dan dididik oleh ayahnya dengan didikan yang baik. Hasyim kecil sudah belajar Al-Qur’an dan kitab-kitab turats kepada ayahnya sampai ia mampu menguasai ilmu-ilmu dasar agama.
Lalu beliau mengembara ke pelbagai pondok pesantren jawa guna menimba dan mendalami ilmu agama, di antaranya Sidoarjo, Tuban, dan Madura. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan agamanya ke Tanah Haram selama beberapa tahun dan belajar kepada ulama-ulama terkemuka yang ada di sana.
Setelah sekian lamanya menimba ilmu, Mbah Hasyim memutuskan untuk pulang ke kampung halaman dengan membawa segudang ilmu yang ia kuasai. Sesampai di kampung halaman, beliau mendirikan Pondok Pesantren yang sekarang kita kenal dengan PP. Tebuireng Jombang pada 26 Rabi’ul Awal 1217 H. Kemudian pada 16 Rajab 1244 H, Mbah Hasyim dan ashhab-nya resmi mendirikan Jam’iyyah Nahdhatul Ulama.
Karya-karya Mbah Hasyim
Karya tulis yang beliau lahirkan di antaranya adalah 1). Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, 2). Ziyadah Ta’liqat, 3). Al-Tanbihat al-Wajibat, 4). Al-Risalah al-Jama’ah, 5). Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, 6). Hasyiyah ‘ala Fath al-Rahman, 7). Al-Durar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’ ‘Asyarah, 8). Al-Tibyan , 9). Al-Risalah al-Tauhidiyyah, 10). Al-Qalaid fi Bayan Ma Yajibu min al-‘Aqaid.
Mengupas Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim
Kitab ini sebenarnya memiliki nama lengkap yang cukup panjang yaitu.
اَدَبُ اْلعَالِمِ وَاْلمُتَعَلِّمِ فِيْمَا يَحْتَاجُ اِلَيْهِ اْلمُتَعَلِّمُ فِيْ اَحْوَالِ تَعْلِيْمِهِ وَمَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ اْلمُعَلِّمُ فِيْ مَقَامَاتِ تَعْلِيْمِهِ
(Tatakrama murid dan guru: kebutuhan murid dalam belajar dan ketentuan guru dalam kedudukan mengajarnya).
Kitab setebal 110 halaman yang telah ditashhih oleh M. ‘Isham Hadiq cetakan maktabah al-turats al-islamy ini membahas tatakrama guru dan murid ke dalam 8 bab, yaitu sebagai berikut.
Bab Pertama, keutamaan ilmu dan sosok guru serta keutamaan belajar dan mengajar. Mbah Hasyim memualinya dengan menukil riwayat yang menyatakan bahwa orang yang berilmu (ulama) itu menempati kedudukan yang lebih tinggi.
قال ابن عباس رضي الله عنهما : درجات العلماء فوق المؤمنين بسبعمائة درجة ما بين الدرجتين خمسمائة عام
(Derajat seorang yang berilmu itu di atas derajat orang-orang beriman sebanyak 700 derajat, di antara keduanya sebanding dengan 500 tahun).
Baca juga: Keutamaan Majelis Ilmu: Manfaat dan Berkahnya
Kemudian beliau sajikan keutamaan orang yang menimba ilmu.
قال صلي الله عليه وسلم طلب العلم فريضة علي كل مسلم ومسلمة وطالب العلم يستغفر له كل شيء حتى الحوت في البحر
(Nabi Saw bersabda: mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Orang yang menimba ilmu akan diminta ampunan oleh setiap makhluk bahkan paus di dalam laut sekalipun).
Bab Kedua, tatakrama seorang pelajar dalam menimba ilmu. Mbah Hasyim membaginya ke dalam 10 macam tatakrama. 1) Membersihkan hati dari segala kotoran penyakit hati. 2) Hendaknya memperbaiki niat dalam menimba ilmu. 3) Bersegera menimba ilmu di saat muda. 4) Rekoso (menerima kondisi apapun, seperti makan, pakaian, dan bekal seadanya).
5) Mampu me-manage waktu di siang dan malam hari. 6) Meminimalisir makan dan minum. 7) Berusaha bersikap wara’ (menjauhi dosa kecil) dan ihtiyath (selektif dalam hal apapun, seperti makan, minum, pakaian, tempat, dan lain-lain). 8) Meminimalisir makanan yang menurunkan kualitas belajar, seperti anggur kecut, kacang, minum cuka, ikan, dan lain-lain. 9) Tidur secukupnya sekedar menghilangkan kantuk. 10) Meninggalkan pergaulan yang tidak ada manfaatnya.
Bab Ketiga, membahas tatakrama seorang murid kepada gurunya. Lalu terbagi dalam 12 macam tatakrama, di antaranya: 1) Seorang murid hendaklah melihat guru mengajarnya terlebih dahulu, apakah ia memiliki ilmu yang mumpuni. 2) Hendaknya seorang murid melihat gurunya dengan rasa ta’dzim (memuliakan) dan yakin derajatnya lebih tinggi. 3) Selalu mengingat gurunya baik selama hidupnya atau setelah wafatnya. 4) Hendak berkata lemah lembut kepada gurunya.
Bab Keempat, tatakrama murid dalam pembelajaran, hal yang bersahutan dengan guru dan teman seperjuangan. Mbah Hasyim membaginya ke dalam 13 tatkarama. Di antaranya adalah:
1) Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu yang bersifat fardhu ‘ain yang ada empat; Ilmu Dzat tentang ketauhidan, Ilmu Shifat tentang sifat Allah yang bersih dari segala kekurangan, Ilmu Fikih tentang bersuci, shalat, dan puasa, serta Ilmu Ahwal atau ilmu yang dibutuhkan sewaktu-waktu.
Baca juga: Santri 5.0: Antara Kitab Kuning dan Dunia Digital
2) Senantiasa men-crosschek ilmu yang telah dibaca sebelum menghafalnya kepada guru atau orang yang dapat dipercaya. 3) Mengucapkan salam ketika menghadiri majelis ilmu. 4) Tidak malu bertanya dari persoalan yang belum diketahuinya dengan nada lembut dan penuh kesopanan. 5) Duduk dihadapan guru dengan membawa kitab yang dikaji dan tidak meletakkan kitab di atas lantai.
Bab Kelima, tatakrama guru atas kewajibannya sendiri. Terdapat 20 tatakrama, di antaranya adalah:
1) Selalu waspada bahwa Allah melihat dirinya di tempat sembunyi atau ramai. 2) Bersikap tenang. 3) Berusaha bersifat wara’. 4) Bersikap rendah hati. 5) Tidak menjadikan ilmu sebagai pelantara untuk memperoleh keduniawian.
6) Selalu menjaga muruah (kehormatan diri). 7). Selalu menjaga syiar-syiar dan panji Islam. 8) Bersosial bersama masyarakat dengan akhlak yang terpuji. 9) Berusaha membersihkan hati dari sifat tercela. 10) Hendaknya berproduktif menulis, menyusun buku atau kitab bila ia merasa mampu.
Bab Keenam, tatakrama guru dalam belajar-mengajar. Di sini Mbah Hasyim menjelaskan panjang lebar terkait tatakrama guru dalam belajar-mengajar, diantaranya:
Disaat hendak menghadiri majelis ilmu seorang guru harus suci dari hadas dan kotoran, berpakaian rapih, memakai wewangian, memakai baju terbaik sesuai daerahnya, niat mengagungkan ilmu dan syariat Islam.
Baca juga: Diam Tak Selalu Berarti Marah: Sebuah Bahasa yang Tak Tersuarakan
Disaat keluar dari rumah hendaknya membaca doa yang Nabi ajarkan (terlampir di dalam kitab), setelah sampai menghadap hadirin ucapkanlah salam, duduk menghadap kiblat bila memungkinkan, posisi sikap tenang, rendah hati, dan khusyu’.
Membaca doa bilamana hendak memulai pelajaran, tidak melantangkan suaranya cukup sekiranya didengar para hadirin, selalu mengulang penjelasannya agar memahamkan para hadirin. Bila ditanya hal yang belum ia ketahui katakanlah “saya belum mengetahuinya atau saya belum menguasai bidang ini”.
Bab Ketujuh, tatakrama guru bersama muridnya. Di dalamnya terdapat 14 macam tatakrama. Di antaranya adalah:
1) Meneguhkan niat belajar dan menghilangkan kebodohan karena Allah semata, niat menyebarkan ilmu dan menghidupkan syariat Islam, 2) Tidak melarang murid yang tengah belajar sebab tidak memiliki keniatan, melainkan guru lah yang meluruskan niat muridnya dengan ucapan atau perbuatan.
3) Menyayangi muridnya sebagaimana ia menyayangi dirinya. 4) Hendaknya seorang guru diusahakan intens dalam berlajar dan efektif dalam memberikan pemahaman kepada murid. 5) Seorang guru hendaknya mengajar muridnya dengan loyalitas dan totalitas kemampuannya. 6) Senantiasa mempermudah murid dari segi kondisi, bekal, dan keselamatannya demi tercipta kemaslahatan jiwa raga dan kebahagiaannya kelak.
Baca juga: Ilustrasi Cinta Sejati: Sebuah Refleksi
Bab Kedelapan, tatakrama kepada kitab sebagai sumber ilmu dan hal yang berkaitan dengan pencapaian ilmu, meletakkan kitab, dan menulis kitab. Dibahas dalam 5 macam tatakrama.
1) Hendaknya seorang yang mencari ilmu memiliki kitab yang dibutuhkan untuk belajar bisa dengan membeli, menyewa, atau meminjam, sebab hal itu merupakan wasilah dalam pencapaian ilmu. 2) Dianjurkan meminjam kitab ketika kedua belah pihak saling bertanggungjawab, tidak terlalu lama meminjam jika tidak ada alasan yang jelas dan secepatnya mengembalikan kitab tersebut disaat sudah jatuh tempo.
3) Disaat menulis atau menelaah kitab jangan diletakkan di atas lantai sebagai alas, disaat membuat kitab hendaknya dijadikan dua belah pinggir (kanan-kiri), sesuatu penghubung (seperti dijilid), atau hardcover tujuannya agar tidak mudah putus (rusak), ketika meletakkan kitab hendaknya di tempat yang datar seperti alas buku, meja, atau selainnya.
4) Ketika meminjam atau membeli kitab hendaknya memeriksa terlebih dulu seluruh halaman, cover, dan bahan kertasnya. 5) Disaat seseorang menyusun kitab seyogyanya ia dalam kondisi suci, menghadap kiblat, lalu memulai tulisannya dengan basmalah, hamdalah, shalawat serta salam.
Ketika ia belum menyempurnakan tulisannya hendaknya ia menulis juz awal, juz kedua, dan seterusnya, ketika sudah selesai hendaknya ia menulis bahwa kitab ini telah sempurna.
Identitas Kitab
Nama : Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim
Penyusun : Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari
Halaman : 110 halaman
Cetakan : Maktabah Al-Turats Al-Islami
Penertbit: Ma’had Tebuireng, Jombang
